Beranda history History, Education & Tour: 2015

Selasa, 30 Juni 2015

KERAJAAN ACEH DARUSSALAM












DEMOKRASI TERPIMPIN (1957-1965)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi dimana seluruh keputusan dan pemikiran berpusat pada pemimpin negara. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956. Masa demokrasi terpimpin (1957-1965) dimulai dengan tumbangnya demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang ditandai pengunduran Ali Sastroamidjojo sebagai perdana menteri.
Pelaksanaan sistem Demokrasi Terpimpin, sebenarnya merupakan wujud dari obsesi Presiden Soekarno yang dituangkan dalam Konsepsinya pada tanggal 21 Februari 1957, yang isinya mengenai penggantian sistem Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin, pembentukan Kabinet Gotong Royong, dan pembentukan Dewan Nasional. Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca Pemilihan Umum 1955 membuat situasi politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kegagalan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga negara Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.
1.2 Rumusan Masalah
1.    Jelaskan kenapa dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959?
2.    Jelaskan pelaksanaan Sistem Demokrasi Terpimpin?
3.    Jelaskan pelaksanaan Sistem Ekonomi Terpimpin?
4.    Jelaskan proses pembebasan Irian Barat (Jaya)?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Pemilu yang pertama diselenggarakan pada masa Kabinet Burhanudin Harahap tahun 1955, di antaranya adalah untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas merumuskan UUD baru. Namun dalam kenyataannya sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar baru. Keadaan itu semakin mengguncangkan situasi politik di Indonesia pada saat itu. Bahkan, masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau. Keadaan yang semakin bertambah kacau ini bisa membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah panas karena adanya ketegangan yang diikuti dengan keganjilan-keganjilan sikap dari setiap partai politik yang berada di Konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante. Namun, Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.
Kegagalan Konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat undang-undang dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutan konstitusional. Undang-Undang Dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut dengan Konsepsi Presiden. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut:
a.    Pembubaran Konstituante,
b.    Berlakunya kembali UUD 1945 dan idak berlakunya UUDS 1950,
c.    Pembentukkan MPRS dan DPAS.
2.2 Sistem Demokrasi Terpimpin
Lima hari setelah Dekrit Presiden, Kabinet Karya dibubarkan dan pada tanggal 09 Juli 1959 digantik dengan Kabinet Kerja. Dalam Kabinet ini Presiden Soekarno bertindak selaku Perdana Menteri, sedangkan Ir. Djuanda menjadi Menteri Pertama dengan dua orang wakilnya Dr. Leimena dan Dr. Subandrio. Program cabinet meliputi penyelenggaraan keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi sandang pangan rakyat.
Setelah terbentuknya kabinet pada 22 Juli 1959, Presiden Soekarno membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketahui oleh Presiden dengan Penpres no. 3 tahun 1959 dengan 45 orang anggota yang terdiri dari 12 wakil golongan politik, 8 orang utusan/ wakil daerah, 24 orang wakil golongan karya, dan 1 orang wakil ketua. Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah (pasal 16 ayat 2 UUD 19450. Para anggota DPA dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959. Pada upacara peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang bersejarah yamh berjudul “ Penemuan kembali revolusi kita” pidato tesebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban Presiden atas dekrit 5 Juli 1959 serta garis kebijakan Presiden Soekarno dalam mengenalkan sistem demokrasi terpimpin.
Dalam sidangnya pada bulan September 1959, DPA dengan suara bulat mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden Soekarno tersebut dijadikan garis- garis besar haluan negara. Usul DPA itu diterima baik oleh Presiden Soekarno. Rumusan DPA atas pidato tersebut menjadi garis- garis besar haluan negara berjudul “Manifesto politik Republik Indonesia” disingkat Manipol. Selanjutnya dengan penetapan Presiden no.2 tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959 dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang anggota- anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan beberapa persyaratan, yaitu setuju kembali ke UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Berdasarkan UUD 1945, keanggotaan MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan- utusan dari daerah dan wakil- wakil golongan. Tindakan Presiden Soekarno selanjutnya dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin adalah mendirikan lembaga- lembaga negara baru, yaitu Front Nasional yang dibentuk melalui penetapan Presiden no. 13 tahun1959. Dalam penetapan itu disebutkan, Front Nasional adalah suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita- cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional itu diketuai oleh Presiden Soekarno.
Dalam regrouping pertama kabinet yang berdasarkan keputusan Presiden no. 94 tahun 1962, dilakukan pengintergrasian lembaga- lembaga tertinggi negara dengan eksekutif, yaitu MPRS, DPR GR, DPA, MA, dan Dewan Perancang Nasional. Pimpinan lembaga- lembaga negara tersebut diangkat menjadi Menteri dan ikut serta dalam sidang- sidang cabinet tertentu, yang selanjutnya ikut merumuskan dan mengamankan kebijakan pemerintahan dalam lembaga masing- masing.
Selain lembaga-lembaga tersebut, Presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) berdasarkan penetapan Presiden no. 4 tahun 1962, MPRS beserta stafnya merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR terdiri dari sejumlah Menteri yang mewakili MPRS dan DPR GR, dapertemen, angkatan- angkatan, dan para pemimpin partai politik Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Dalam perkembangan selanjutnya kekuatan politik pada waktu itu terpusat ditangan presiden Soekarno dengan TNI AD dan PKI disampingnya. (http://akrabsenada.blogspot.com/2013/08/dekrit-presiden-5-juli-1959-dan.html) di akses 24 Maret 2014.
2.3 Sistem Ekonomi Terpimpin
a. Ekonomi- Keuangan
Untuk merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah:
a)    Mempersiapkan rancangan undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana (pasal 2).
b)   Menilai penyelenggara pembangunan itu (pasal 3).
Selanjutnya pada tanggal 15 Agustus 1959 terbentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) di bawah pimpinan Mr. Muh Yamin sebagai Wakil Menteri Pertama yang beranggotakan 80 orang wakil golongan masyarakat dan daerah. Dalam waktu kurang lebih satu tahun, Depernas berhasil menyusun suatu “Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969.” MPRS menyetujui rancangan tersebut. Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Bappenas mempunyai tugas menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan rencana tahunan baik nasional maupun daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan. Dalam rangka usaha membendung inflasi maka dikeluarkan kebijakan:
a)    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk kepentingan perbaikan keadaan keuangan dan perekonomian negara.
b)   Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.3 tahun 1959 tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank yang dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran, yang terutama dalam tahun 1957 dan 1958 sangat meningkat jumlahnya.
c)    Peraturan moneter tanggal 25 Agustus 1959 diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.6/1959, yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran seribu rupiah dan lima ratus rupiah yang masih berlaku ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960.
Untuk menampung akibat-akibat dari tindakan moneter dari bulan Agustus 1959 dibentuklah Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK). Tugas pokok dari panitia ini ialah menyelenggarakan tindak lanjut dari tindakan moneter itu, tanpa mengurangi tanggung jawab menteri, departemen, dan jawatan yang bersangkutan.
Dengan tindakan moneter tanggal 25 Agustus 1959 tersebut, pemerintah bertujuan akan dapat mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan moneter. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi pada akhir tahun 1959 itu juga, diketahui bahwa pemerintah mengalami kegagalan. Semua tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya.
Sejak tahun 1961, Indonesia terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia sudah habis membelanjakan cadangan emas dan devisanya. Presiden Soekarno menganggap perlu untuk mengintegrasikan semua Bank Negara ke dalam suatu organisasi Bank Sentral. Untuk itu dikeluarkan Penetapan Presiden No.7 tahun 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Maka kemudian diadakan peleburan bank-bank negara seperti: Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN); Bank Umum Negara; Bank Tabungan Negara; Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Sesudah pengintegrasian Bank Indonesia itu selesai, barulah dibentuk Bank Negara Indonesia.
b. Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri
Ekonomi Indonesia bersifat agraris, karena lebih kurang 80% dari penduduk hidup dari berkecimpung dalam bidang pertanian. Sebagian hasil dari pertanian atau perkebunan yang dihasilkan setiap tahunnya dijual dan diekspor ke luar negeri untuk memperoleh devisa atau valuta asing untuk membeli atau mengimpor berbagai bahan baku dan barang konsumsi yang belum dapat dihasilkan di Indonesia. Oleh karena itu, untuk dapat mengimpor kebutuhan- kebutuhan dari luar negeri adalah mutlak, neraca perdagangan kita dengan luar negeri harus menunjukkan terms of trade yang menguntungkan. Apabila itu belum tercapai, terpaksalah dicari bantuan atau disebut juga kredit luar negeri, guna dapat membiayai impor. Perdagangan luar negeri antara Indonesia dengan negara lain misalnya dengan negara Cina.
Dalam rangka usaha untuk membiayai proyek-proyek Presiden/Mandataris MPR-S, maka Presiden Soekarno mengeluarkan Instruksi Presiden No.018 tahun 1964 dan Keputusan Presiden No.360 tahun 1964, yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan “dana-dana revolusi”. Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya diperoleh dari pungutan uang call SPP dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deferred payment. Deferred payment ialah suatu macam impor yang dibayar dengan kredit (kredit berjangka 1-2 tahun) karena tidak cukup persediaan devisa. Akibat kebijaksanaan kredit luar negeri ini adalah:
a)    Hutang-hutang negara semakin bertimbun-timbun, sedangkan ekspor semakin menurun dan Devisa menipis karena ekspor menurun sekali.
b)   Hutang luar negeri dibayar dengan kredit baru atau pembayaran itu ditangguhkan.
c)    RI tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, karena itu, sering terjadi beberapa negara menyetop impornya ke Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar.
d)   Di dalam negeri berakibat mengganggu proses produksi, distribusi dan perdagangan serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.
Dana revolusi tersebut diberikan dalam bentuk kredit kepada orang lain atau perusahaan dengan rente tertentu agar jumlah dana bertambah terus. Namun, pemberian kredit tersebut menyimpang dari pemberian kredit biasa sampai kira-kira mencapai jumlah Rp 338 milyar (uang lama). Hal ini mengakibatkan inflasi meningkat sangat tinggi karena pemerintah sama sekali tidak mengindahkan jumlah uang yang beredar. Bank Indonesia diizinkan untuk mengadakan penyertaan dalam perusahaan, sehingga membawa akibat yang cukup luas bagi masyarakat, misalnya:
e)    Bank Indonesia sebagai Bank Sentral tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai pengantar peredaran uang.
f)    Neraca Bank Indonesia tidak dapat diketahui oleh rakyat lagi.
g)   Neraca Bank Indonesia yang tidak diumumkan itu mendorong usaha-usaha spekulasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan. (Poesponegoro, 2008: 429- 436).
2.4  Pembebasan Irian Barat (Jaya)
Ada beberapa bentuk perjuangan dalam rangka pembebasan Irian Barat, yaitu:
a.      Perjuangan Diplomasi
Pada bidang ini Indonesia mandahulukan cara damai dalam menyelesaikan persengketaan. Perjuangan tersebut dilakukan dengan perundingan. Jalan diplomasi ini sudah dimulai sejak kabinet Natsir (1950) yang selanjutnya dijadikan program oleh setiap kabinet. Meskipun selalu mengalami kegagalan sebab Belanda masih menguasai Irian Barat bahkan secara sepihak memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan Belanda. Perjuangan secara diplomasi ditempuh dengan 2 tahap, yaitu
1)   Secara bilateral
Melalui perundingan dengan belandaBerdasarkan perjanjian KMB masalah Irian Barat akan diselesaikan melalui perundingan, setahun setelah pengakuan kedaulatan. Pihak Indonesia menganggap bahwa Belanda akan menyerahkan Irian Barat pada waktu yang telah ditentukan. Sementara Belanda mengartikan perjanjian KMB tersebut bahwa Irian Barat hanya akan dibicarakan sebatas perundingan saja, bukan diserahkan. Berdasarkan alasan tersebut maka Belanda mempunyai alasan untuk tetap menguasai Indonesia. Akhirnya perundingan dengan Belanda inipun mengalami kegagalan.
2)   Diplomasi dalam forum PBB
Diplomasi dalam forum PBB ini membawa masalah Indonesia-Belanda ke sidang PBB yang dilakukan sejak Kabinet Ali Sastroamijoyo I, Burhanuddin Harahap, hingga Ali Sastroamijoyo II. Dikarenakan penyelesaian secara diplomatik mengalami kegagalan dan karena adanya pembatalan Uni Indonesia-Belanda secara sepihak maka Indonesia sejak 1954 melibatkan PBB dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Upaya melalui forum PBB pun tidak berhasil karena mereka menganggap masalah Irian Barat merupakan masalah internal antara Indonesia-Belanda. Negara-negara barat masih tetap mendukung posisi Belanda. Indonesia justru mendapat dukungan dari negara-negara peserta KAA di Bandung yang mengakui bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia.
b.      Perjuangan Konfrontasi Politik, Ekonomi dan Militer
Perjuangan diplomasi baik bilateral maupun dalam forum PBB belum menunjukkan hasil sehingga Indonesia meningkatkan perjuangannya dalam bentuk konfrontasi. Konfrontasi dilakukan tetapi tetap saja melanjutkan diplomasi dalam sidang-sidang PBB. Konfrontasi yang ditempuh yaitu konfrontasi politik dan ekonomi, serta konfrontasi militer.
1.    Konfrontasi Ekonomi
Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi tersebut sebagai berikut:
1)   Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB, diumumkan pembatalan utang-utang RI kepada Belanda.
2)   Selama tahun 1957 melakukan Pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan Belanda, melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa Belanda, dan melarang penerbangan kapal-kapal Belanda
3)   Selama tahun 1958-1959 melakukan Nasionalisasi terhadap ± 700 perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia
2.    Konfrontasi Politik
1)   Tahun 1951, Kabinet Sukiman menyatakan bahwa hubungan Indonesia dengan Belanda merupakan hubungan bilateral biasa
2)   Tanggal 3 Mei 1956, pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II, diumumkan pembatalan semua hasil KMB
3)   Pada tanggal 17 Agustus 1956 dibentuk provinsi Irian Barat dengan ibukotanya kotanya di Soa Siu (Tidore) dan Zaenal Abidin Syah (Sultan Tidore) sebagai gubernurnya yang dilantik tanggal 23 September 1956. Provinsi Irian Barat meliputi : Irian, Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile
4)   Pada tanggal 18 November 1957 terjadi Rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta
5)   Tahun 1958, Pemerintah RI menghentikan kegiatan-kegiatan konsuler Belanda di Indonesia. Pemecatan semua pekerja warga Belanda di Indonesia
6)   Tanggal 8 Februari 1958, dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat
7)   Tanggal 17 Agustus 1960 diumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda
3.    Konfrontasi Militer
Dampak dari tindakan konfrontasi politik dan ekonomi tersebut maka tahun 1961 dalam Sidang Majelis Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah Irian Barat. Diputuskan bahwa Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker bersedia menjadi penengah dalam perselisihan antara Indonesia dan Belanda. Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana Bunker, yaitu :
1)   Pemerintah Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia
2)   Setelah sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk menentukan pendapat apakah tetap dalam negara Republik Indonesia atau memisahkan diri
3)   Pelaksanaan penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu dua tahun.
Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek. Tetapi pihak Belanda tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk menyerahkan Irian Barat di bawah pengawasan PBB. Selanjutnya PBB membentuk negara Papua dalam jangka waktu 16 tahun. Jadi Belanda tetap tidak ingin Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Keinginan Belanda tersebut tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara Papua, lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan. Tindakan Belanda tersebut tidak melemahkan semangat bangsa Indonesia. Indonesia menganggap bahwa sudah saatnya menempuh jalan kekuatan fisik (militer).
c.       Operasi- Operasi Militer Pembebasan Irian Barat
Pada tanggal 17 Agustus 1960 hubungan diplomatic dengan Belanda diputuskan. Untuk lebih meningkatkan perjuangan, maka Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional. Adapun Isi dari Trikora tersebut adalah sebagai berikut:
1)   Gagalkan Pembentukan Negara boneka papua buuatan Belanda
2)   Kibarkan Sang merah Putih di Irian Barat, Tanah air Indonesia
3)   Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa
Sesuai dengan perkembangan situasi, Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala yang isinya sebagai berikut:
1)   Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer dengan tujuan mengembalikan wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan Negara RI.
2)   Mengembangkan situasi di Provinsi Irian Barat sesuai dengan perjuangan di bidang diplomasi dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat dapat secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/ pemerintah daerah Republik Indonesia
Untuk melaksanakan Instruksi itu, Panglima Mandala menyusun strategi yang dikenal dengan “Strategi Panglima Mandala”, yaitu sebagai berikut:
a.    Tahap Infiltrasi / Penyusupan (sampai akhir 1962)
Tahap jalan infiltrasi, yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan pengusaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat.
b.    Tahap Eksploitasi (awal 1963)
Mulai Tahap ini dengan mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.
c.    Tahap Konsolidasi (awal 1964)
Tahap konsolidasi yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat. Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan operasi Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah dari presiden untuk menghentikan tembak-menembak.
Surat perintah tersebut dikeluarkan setelah ditandatangani persetujuan antara pemerintah RI dengan kerajaan Belanda mengenai Irian Barat di Markas Besar PBB di New York pada tanggal 15 Agustus 1962 yang selanjutnya dikenal dengan Perjanjian New York. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menlu Subandrio sementara
itu Belanda dipimpin oleh Van Royen dan Schuurman. Kesepakatan tersebut berisi:
1)   Kekuasaan pemerintah di Irian Barat untuk sementara waktu diserahkan pada UNTEA(United Nations Temporary Executive Authority)
2)   Akan diadakan PERPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian Barat sebelum tahun 1969
3)   Untuk menjamin Keamanan di Irian Barat dibentuklah pasukan penjaga perdamaian PBB yang disebut UNSF (United Nations Security Force) yang dipimpin oleh Brigadir Jendral Said Udin Khan dari Pakistan.
Berdasarkan Perjanjian New York proses untuk pengembalian Irian Barat ditempuh melalui beberapa tahap, yaitu :
1.    Antara 1 Oktober -31 Desember 1962 merupakan masa pemerintahan UNTEA bersama Kerajaan Belanda.
2.    Antara 1 Januari 1963- 1 Mei 1963 merupakan masa pemerintahan UNTEA bersama RI.
3.    Sejak 1 Mei 1963, wilayah Irian Barat sepenuhnya berada di bawah kekuasaan RI.
4.    Tahun 1969 akan diadakan act of free choice, yaitu penentuan pendapat rakyat
Penentuan Pendapat rakyat (Perpera) berarti rakyat diberi kesempatan untuk memilih tetap bergabung dengan Republik Indonesia atau Merdeka. Perpera mulai dilaksankan pada tanggal 14 Juli 1969 di Merauke sampai dengan 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasil Perpera tersebut adalah mayoritas rakyat Irian Barat menyatakan tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil Perpera selanjutnya dibawa oleh Diplomat PBB, Ortis Sanz (yang menyaksikan setiap tahap Perpera) untuk dilaporkan dalam sidang Majelis Umum PBB ke-24. Tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB mengesahkan hasil Perpera tersebut. (http://yhozhie.blogspot.com/2013/05/perjuangan-pembebasan-irian-barat.html) di akses 24 Mei 2015.

BAB III
PENUTUP
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dicetuskannya sistem Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Soekarno yaitu dari segi keamanan : banyaknya gerakan sparatis pada masa Demokrasi Liberal, menyebabkan ketidakstabilan di bidang keamanan. Dari segi perekonomian : sering terjadinya pergantian kabinet pada masa Demokrasi Liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat. Dari segi politik : konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950, maka pada tanggal 5 Juli 1959 presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden.
Untuk merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah mempersiapkan rancangan undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana dan menilai penyelenggara pembangunan itu. Pada massa demokrasi terpimpin Indonesia melakukan kredit luar negeri dan melakukan kerja sama perdaganan dengan Cina yang memberikan keuntungan materi dan politik.
Ada beberapa bentuk perjuangan dalam rangka pembebasan Irian Barat, yaitu: perjuangan diplomasi, perjuangan Konfrontasi Politik, Ekonomi dan Militer serta operasi- operasi Militer. Untuk lebih meningkatkan perjuangan, maka Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional. Kemudian Trikora ini diperjelas dengan Instruksi Panglima Mandala yang menyusun strategi yang dikenal dengan “Strategi Panglima Mandala”, yaitu tahap Infiltrasi / Penyusupan (sampai akhir 1962), tahap Eksploitasi (awal 1963), dan tahap Konsolidasi (awal 1964).




DAFTAR PUSTAKA
M.C Ricklefs.2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka


MASA KEDUDUKAN VOC DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar belakang dibentuknya VOC
Keinginan Belanda untuk melakukan monopoli dibidang perdagangan dikawasan Nusantara, ternyata tidak hanya merupakan keinginan Belanda sendiri, tetapi juga negara lainnya, seperti Inggris. Bahkan Inggris telah mendahului langkah VOC dengan membentuk sebuah perserikatan dagang untuk kawasan Asia di tahun 1600 yang diberi nama EIC (East India Company), yang mana telah menimbulkan kekawatiran dikalangan para pedagang Belanda sehingga persaingan yang tadinya ada diantara mereka sendiri berubah menjadi kesepakatan untuk membentuk sebuah badan dagang guna membendung EIC.
Untuk menghilangkan persaingan antar pedagang Belanda dan untuk mengahadapi persaingan dagang dengan bangsa Eropa lainya, maka pada tanggal 20 Maret 1602, atas prakarsa Pangeran Maurits dan Olden Barneveld didirikan kongsi perdagangan bernama Verenigde Oost-Indische Compagnie-VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). Pengurus pusat VOC terdiri dari 17 orang. Pada tahun 1602 VOC membuka kantor pertamanya di Banten yang di kepalai oleh Francois Wittert.
1.2. Rumusan Permasalahan
a.     Bagaimana kedatangan Belanda?
b.    Bagaimana pembentukan kongsi dagang Belanda?
c.     Bagaimana sepak terjang VOC di Indonesia?
d.    Bagaimana politik ekonomi VOC?
e.     Bagaimana sistem birokrasi VOC?
f.     Bagaimana sebab jatuhnya VOC ?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kedatangan Belanda
Pada 1596, ekspedisi Belanda mendarat di pelabuhan Banten. Rombongan pertama Belanda tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Houtman dan anak buahnya diusir penduduk setempat karena sikap mereka yang kasar dan sombong. Ekspedisi ini pulang dengan tangan hampa. Namun meraka telah membawa rute bagi perjalanan berikutnya. Ekspedisi kedua Belanda di bawah pimpinan Jacob van Neck berhasil mendarat di Banten pada 1598. Berbekal pengalaman sebelumnya, kedatangan mereka diiringi sikap yang baik sehingga mereka diterima penduduk setempat, apalagi saat itu penduduk Banten sedang berseteru dengan Portugal. Situasi ini menjadi peluang bagi Belanda untuk membina kerjasama di bidang perdagangan. Setelah mendapatkan apa yang mereka mau dan keuntungan yang banyak, ekspedisi ini kembali ke negeri Belanda dengan muatan kapal yang penuh rempah-rempah. Keberhasilan ekspedisi kedua ini telah mendorong banyak pedagang Belanda untuk kembali ke nusantara.
2.2. Pembentukan Kongsi Dagang Belanda
Dengan semakin banyaknya pedagang-pedagang Belanda yang mendatangi kepulauan Nusantara, maka hal ini mengakibatkan timbulnya rasa persaingan di antara sesama pedagang Belanda yang justru memperlemah kedudukan pedagang Belanda di nusantara. Apalagi mengingat Inggris dan Perancis yang telah memikili perkumpulan pedagang atau kongsi dagang yang sudah terbentuk dengan kuat. Atas dasar itulah, Johan van Oldenbarnevelt, kemudian mengusulkan agar masyarakat Belanda membuat kongsi dagang seperti kongsi dagang milik Inggris dan Perancis.
Pada 20 Maret 1602, Perseroan – perseroan yang saling bersaing bergabung membentuk perserikatan Maskapai Hindia Timur, bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Kepentingan yang bersaing itu diwakili oleh sistem majelis (kamer) untuk enam wilayah di Belanda. Setiap majelis mempunyai sejumlah direktur yang telah disetujui yang berjumlah tujuh belas orang yang disebut sebagai Heeren XVII (tuan-tuan tujuh belas).
Tujuan didirikannya VOC yaitu:
a.    Menghilangkan persaingan yang merugikan para pedagang Belanda.
b.    Menyatukan tenaga untuk menghadapi persaingan dari Portugal dan pedagang-pedagang nusantara.
c.    Mencari keuntungan yang sebesar-besarnya untuk menghadapi perang melawan Spanyol
VOC merupakan perhimpunan dagang di kalangan swasta Belanda. Kongsi dagang ini merasa berkewajiban membantu pemerintah Belanda dalam mendapatkan dana. Sebaliknya, pemerintah Belanda memandang perlu untuk memberikan sejumlah kewenangan kepada VOC yang kemudian disebut hak oktroi (hak paten).
a.    Hak-hak VOC yang diberikan pemerintah Belanda adalah sebagai berikut:
b.    Hak memonopoli perdagangan.
c.    Hak memiliki angkatan perang, berperang, mendirikan benteng-benteng dan menjajah.
d.   Hak mengadakan perjanjian dengan raja atau penguasa setempat atas nama pemerintah Belanda.
e.    Hak mencetak dan mengedarkan uang.
f.     Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai.
g.    Hak menjalankan kekuasaan kehakiman.
h.    Hak mengadakan pemerintahan sendiri.
i.      Hak melakukan pungutan pajak.
j.      Menjadi wakil pemerintah Belanda di Asia.
Dengan hal-hak istimewa tersebut, VOC bukan saja sebagai kongsi dagang, tetapi juga merupakan pemerintah semi resmi. Pada tahun 1605, VOC dibawah pimpinan Steven van der Haagen berhasil merebut benteng portugis di Ambon. Untuk memperkuat kedudukannya maka VOC mengangkat seorang pimpinan yang berpangkat Gubernur Jendral.
2.3. Sepak Terjang VOC di Indonesia
Gubernur jendral VOC pertama di Indonesia adalah Pieter Both. Ia menentukan pusat kedudukan VOC di Ambon atas dasar kemudahan monopoli rempah-rempah. Ia berencana memindahkan kekuasaan ke Jayakarta karena dipandang lebih strategis dan berada dijalur perdagangan Asia.
Berikut ini beberapa nama-nama Gubernur Jendral setelah Pieter Both :
1614-1615 Gerard Reynst
1616-1619 Laurens Reaal
1619-1623 Jan Pieterszoon Coen
1623-1627 Pieter Carpentier
1627-1629 Jan Pieterszoon Coen
1629-1632 Jacques Specx
1632-1636 Hendrik Brouwer
1636-1645 Antonio van Diemen
1645-1650 Cornelis van der Lijn
1650-1653 Carel Reyniersz
1653-1678 Joan Maetsuycker
1678-1681 Rijcklof van Goens
1681-1684 Cornelis Speelman
1684-1691 Johannes Camphuys
1691-1704 Willem van Outhoorn
1704-1709 Joan van Hoorn
1709-1713 Abraham van Riebeeck
1713-1718 Christoffel van Swoll
1718-1725 Hendrick Zwaardecroon
1725-1729 Mattheus de Haan
1729-1731 Diederik Durven
1732-1735 Dirk van Cloon
1735-1737 Abraham Patras
1737-1741 Adriaan Valckenier
1741-1743 Johannes Thedens (waarnemend)
1743-1750 Gustaaf Willem Baron van Imhoff
1750-1761 Jacob Mossel
1761-1775 Petrus Albertus van der Parra
1775-1777 Jeremias van Riemsdijk
1777-1780 Reinier de Klerk
1780-1796 Willem Arnold Alting
2.4. Politik Ekonomi VOC
Usaha VOC untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya adalah melalui monopoli perdagangan. Untuk itu VOC menerapkan beberapa aturan dalam melaksanakan monopoli perdagangan antara lain :
1.    Verplichhte Leverantie
Verplichhte Leverantie yaitu penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang telah ditetapkan oleh VOC. Peraturan ini melarang rakyat untuk menjual hasil bumi kepada pedagang lain selain VOC.
2.    Contingenten
Contingenten yaitu kewajiban bagi rakyat untuk membayar pajak berupa hasil bumi.
3. Ektripasi
Ektripasi yaitu hak VOC untuk menebang tanaman rempah-rempah agar tidak terjadi kelebihan produksi yang dapat menyebabkan harga merosot.
4.    Pelayaran Hongi
Pelayaran Hongi yaitu pelayran dengan menggunakan prahu kora-kora untuk mengawasi pelaksanaan perdagangan VOC dan menindak pelanggarnya.
2.5. Sistem Birokrasi VOC
Untuk memerintah wilayah-wilayah di Indonesia, VOC mengangkat seorang gubernur jendral yang dibantu oleh empat orang anggota yang disebut Raad van Indie (dewan India). Dibawah gubernur jendral ada gubernur yang memimpin suatu daerah, serta dibawah gubernur ada residen yang dibantu oleh asisten residen. Beberapa gubernur jendral VOC yang dianggap berhasil mengembangkan usaha dagang dan kolonisasi di Indonesia:
a.    Jaan Pieterszoon Coen ( 1619-1629 )
b.    Antonio van Diemen ( 1636-1645 )
c.    Joan Maetsycker ( 1653-1678 )
d.   Cornelis Speelman ( 1681-1684 )

Dalam melaksanakan sistem pemerintahan VOC menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung dengan memanfaatkan sistem feodalisme yang sudah berkembang di Indonesia.

2.6.  Reaksi dan Perlawanan Kerajaan-kerajaan Islam terhadap VOC 
1.    Mataram menghadapi VOC (1628-1629)
Sultan Agung (1613-1645) adalah raja terbesar Mataram yang bercita-cita: (1) mempersatukan seluruh Jawa di bawah Mataram, dan (2) mengusir Kompeni (VOC) dari Pulau Jawa. Untuk merealisir cita-citanya, ia bermaksud membendung usaha-usaha Kompeni menjalankan penetrasi politik dan monopoli perdagangan.
Pada tanggal 18 Agustus 1618, kantor dagang VOC di Jepara diserbu oleh Mataram. Serbuan ini merupakan reaksi pertama yang dilakukan oleh Mataram terhadap VOC. Pihak VOC kemudian melakukan balasan dengan menghantam pertahanan Mataram yang ada di Jepara. Sejak itu, sering terjadi perlawanan antara keduanya, bahkan Sultan Agung berketetapan untuk mengusir Kompeni dari Batavia.
Serangan besar-besaran terhadap Batavia, dilancarkan dua kali. Serangan pertama, pada bulan Agustus 1628 dan dilakukan dalam dua gelombang. Gelombang I di bawah pimpinan Baurekso dan Dipati Ukur, sedangkan gelombang II di bawah pimpinan Sura Agul-Agul, Manduraredja, dan Upasanta. Batavia dikepung dari darat dan laut selama tiga bulan, tetapi tidak menyerah. Bahkan sebaliknya, tentara Mataram akhirnya terpukul mundur. Perlawanan pertama mengalami kegagalan disebabkan :
a.    Kondisi pasukan Mataram yang kelelahan
b.    Terserang penyakit
Perlawanan rakyat Mataram kedua terhadap VOC di Batavia dilaksanakan tahun 1629. Sultan Agung menyerang Batavia untuk kedua kalinya yang dipimpin oleh Dipati Puger dan Dipati Purbaya. Pasukan Mataram berusaha membendung sungai Citarum yang melewati kota Batavia. Pembendungan itu pun bermaksud agar VOC di Batavia kekurangan air dan mudah kelelahan. Strategi ini ternyata cukup efektif, terbukti bangsa Belanda kekurangan air dan terjangkit wabah penyakit malaria dan kolera yang sangat membahayakan jiwa manusia.
Perlawanan pasukan Mataram yang kedua terpaksa mengalami kegagalan lagi karena :
a.    Kalah persenjataan.
b.    Kekurangan persediaan makanan, karena lumbung-lumbung persediaan makanan yang dipersiapkan di Tegal, Cirebon, dan Kerawang telah dimusnahkan oleh Kompeni.
b.    Jarak Mataram - Batavia terlalu jauh.
c.    Datanglah musim penghujan, sehingga taktik Sultan Agung untuk membendung sungai Ciliwung gagal.
d.   Terjangkitnya wabah penyakit yang menyerang prajurit Mataram.
Hubungan antara VOC dan Mataram hingga meninggalnya Sultan Agung pada tahun 1645 tidak mengalami perbaikan.
2.    Banten menghadapi VOC (1651-1682)
Pertentangan antara banten dengan VOC diawali Pada tahun 1619 J.P Coen berhasil merebut Jayakarta. VOC yang berpusat di Batavia ingin menguasai Selat Sunda, karena Selat Sunda merupakan daerah perdagangan Banten yang sangat penting, langkah Belanda ditentang terus oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Perlawanan Banten meningkat setelah Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta pada tahun 1651.
Untuk melemahkan kerajaan banten  VOC melakukan politik "devide et impera". Pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota (dikenal dengan sebutan Sultan Haji karena pernah naik haji) sebagai pembantu yang mengurusi urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri dipercayakan kepada Pangeran Purboyo ( adik Sultan Haji). Atas hasutan VOC, Sultan Haji mencurigai ayahnya dan menyatakan bahwa ayahnya ingin mengangkat Pangeran Purboyo sebagai raja Banten. Pada tahun 1680, Sultan Haji berusaha merebut kekuasaan, sehingga terjadilah perang terbuka antara Sultan Haji yang dibantu VOC melawan Sultan Ageng Tirtayasa (ayahnya) yang dibantu Pangeran Purboyo. Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purboyo terdesak ke luar kota, dan akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa berhasil di tawan oleh VOC, sedangkan Pangeran Purboyo mengundurkan diri ke daerah Priangan. Pada tahun 1682 Sultan Haji dipaksa oleh VOC untuk menandatangani suatu perjanjian yang isinya :
a.    VOC mendapat hak monopoli dagang di Banten dan daerah pengaruhnya.
b.    Banten dilarang berdagang di Maluku.
c.    Banten melepaskan haknya atas Cirebon.
d.   Sungai Cisadane menjadi batas wilayah Banten dengan VOC.
3.    Makasar menghadapi VOC (1666-1667)
Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil seperti Gowa, Tello, Sopeng, dan Bone. Di antara kerajaan tersebut yang muncul menjadi kerajaan yang paling kuat ialah Gowa, yang lebih dikenal dengan nama Makasar yang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin antara tahun 1654 - 1669.
Kerajaan Makasar menjadi pesaing berat bagi kompeni VOC pelayaran dan perdagangan di wilayah Indonesia Timur. Persaingan dagang tersebut terasa semakin berat untuk VOC sehingga VOC berpura-pura ingin membangun hubungan baik dan saling menguntungkan. Upaya VOC yang sepertinya terlihat baik ini disambut baik oleh Raja Gowa dan kemudian VOC diizinkan berdagang secara bebas. Setelah mendapatkan kesempatan berdagang dan mendapatkan pengaruh di Makasar, VOC mulai menunjukkan perilaku dan niat utamanya, yaitu mulai mengajukan tuntutan kepada Sultan Hasanuddin.
Tuntutan VOC terhadap Makasar ditentang oleh Sultan Hasanudin dalam bentuk perlawanan dan penolakan semua bentuk isi tuntutan yang diajukan oleh VOC. Oleh karena itu, kompeni selalu berusaha mencari jalan untuk menghancurkan Makassar sehingga terjadilah beberapa kali pertempuran antara rakyat Makassar melawan VOC.
Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633 dan pertempuran kedua terjadi pada tahun 1654. Kedua pertempuran tersebut diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang masuk maupun keluar Pelabuhan Makasar. Dua kali upaya VOC tersebut mengalami kegagalan karena pelaut Makasar memberikan perlawanan sengit terhadap kompeni. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666 - 1667 dalam bentuk perang besar. Ketika VOC menyerbu Makasar, pasukan kompeni dibantu oleh pasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan Pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Pasukan angkatan laut VOC, yang dipimpin oleh Speelman, menyerang pelabuhan Makasar dari laut, sedangkan pasukan Aru Palaka mendarat di Bonthain dan berhasil mendorong suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin serta melakukan penyerbuan ke Makasar.
Peperangan berlangsung seru dan cukup lama, tetapi pada saat itu Kota Makassar masih dapat dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Pada akhir kesempatan itu, Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.
Perlawanan rakyat Makasar akhirnya mengalami kegagalan. Salah satu faktor penyebab kegagalan rakyat Makasar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Aru Palaka. Perlawanan rakyat Makasar selanjutnya dilakukan dalam bentuk lain, seperti membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.
 Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang isinya :
1.    Wilayah Makasar terbatas pada Goa, wilayah Bone dikembalikan kepada Aru Palaka.
2.    Kapal Makasar dilarang berlayar tanpa izin VOC.
3.    Makasar tertutup untuk semua bangsa, kecuali VOC dengan hak monopolinya.
4.    Semua benteng harus dihancurkan, kecuali satu benteng Ujung Pandang yang kemudian diganti dengan nama Benteng Roterrdam.
5.    Makasar harus mengganti kerugian perang sebesar 250.000 ringgit.

4.    Maluku menghadapi VOC (1605-1675)
Pada tahun 1605 Belanda mulai memasuki wilayah Maluku dan berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Praktik monopoli dengan sistem pelayaran hongi menimbulkan kesengsaran rakyat. Pada tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan Kakiali, Kapten Hitu. Perlawanan segera meluas ke berbagai daerah. Oleh karena kedudukan VOC terancam, maka Gubernur Jederal Van Diemen dari Batavia dua kali datang ke Maluku (1637 dan 1638) untuk menegakkan kekuasaan Kompeni. Untuk mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni menjanjikan akan memberikan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat membunuh Kakiali. Akhirnya seorang pengkhianat berhasil membunuh Kakiali pada tahun 1643.
Dengan gugurnya Kakiali, untuk sementara Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat Maluku, sebab setelah itu muncul lagi perlawanan sengit dari orang-orang Hitu di bawah pimpinan Telukabesi. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada tahun 1646. Pada tahun 1650 muncul perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi. Perlawanan meluas ke daerah lain, seperti Seram, Maluku, dan Saparua. Pihak Belanda agak terdesak, kemudian minta bantuan ke Batavia. Pada bulan Juli 1655 bala bantuan datang di bawah pimpinan Vlaming van Oasthoom dan terjadilah pertempuran sengit di Howamohel. Pasukan rakyat terdesak, Saidi tertangkap dan dihukum mati, maka patahlah perlawanan rakyat Maluku.
Selanjutnya Sultan Ternate yang syah harus membuat suatu perjanjian baru di mana Sultan Ternate tidak perlu lagi menempatkan walikotanya di Kepulauan Ambon karena akan diurus oleh Kompeni sendiri. Kompeni mengajukan permintaan agar sultan-sultan Ternate dan Tidore mendapat kompensasi dengan diberi uang setiap tahun. Tetapi Kompeni minta agar di daerah kerajaan tidak menanam pohon-pohon rempah-rempah. Engan demikian maka Kompeni tidak perlu khawatir akan adanya perdagangan gelap rempah-rempah di bagian utara bagian Maluku, karena di daerah itu tidak lagi ditanami pohon-pohon rempah.
Tetapi semasa pemerintahan Sultan Amsterdam tahun 1675, timbul lagi perlawanan terhadap Kompeni yang ada di bawah Gubernurnya yang bernama Padbrugge. Perlawanan rakyat dilakukan dengan cara Geriliya dari daerah Jailolo. Perlawanan itu tidak berhasil dan Sultan Amsterdam terpaksa menyerahkan diri dan kemudian dibuan ke Batavia. Dengan demikian maka usaha VOC menegakan monopoli perdagangan rempah-rempah di daerah Maluku berhasil. Hal itu berarti pula VOC berhasil menanamkan penguasaan politik kolonialnya di daerah Maluku.
5.    Aceh menghadapi VOC (1602)
Usaha VOC untuk berdagang dan menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Aceh tidak berhasil, karena Sultan Iskandar Muda cukup tegas. Ia selalu mempersulit orang-orang barat untuk berdagang di wilayahnya.
Pada tahun 1602, Inggris dan Belanda minta ijin untuk berdagang di wilayah Aceh. Sultan Iskandar Muda menegaskan bahwa ia hanya akan memberi ijin kepada salah satu di antara keduanya dengan syarat ijin diberikan kepada yang memberi keuntungan kepada Kerajaan Aceh.
Karena merasa kesulitan mendapatkan ijin berdagang, maka para pedagang Inggris dan Belanda mencoba melaksanakan perdagangan Inggris dan Belanda mencoba melaksanakan perdagangan gelap atau penyelundupan. Usaha itupun tidak berhasil, karena armada Aceh selalu siaga menjaga setiap pelabuhan di wilayahnya.
Pada akhir pemerintahan Sultan Iskandar muda, Aceh mulai surut. Hal itu akibat kekalahan Perlawanan Aceh terhadap Portugis di Malaka. Oleh karena itu, Aceh membutuhkan banyak biaya untuk membangun armadanya kembali. Maka dengan sangat terpaksa, Aceh memberi ijin kepada VOC untuk berdagang di wilayahnya. Dalam pelaksanaannya, VOC tetap mengalami kesulitan. Pada tahun 1641 VOC merebut Malaka dari tangan Portugis. Sejak itu VOC berperan penting di Selat Malaka. Akibatnya peranan Aceh di selat tersebut makin berkurang

2.7.  Berakhirnya Kekuasaan Voc di Indonesia
Pemerintah Belanda akhirnya memutuskan untuk membubarkan VOC pada tanggal 31 Desember 1799. Sebab Jatuhnya VOC antara lain:
1.    Sistem Monopoli VOC dengan Akibat-Akibat yang Merugikan
Tujuan Monopoli dagang ini adalah untuk memperoleh keuntungan sebanyak mngkin dari perdagangan dan tidak memperhatikan kehidupn atau membuat kebaikan terhadap orang-orang pribumi. Akibatnya penduduk pribumi menjadi sangat miskin dan bodoh. Mereka tidak dapat membeli barang-barang produksi yang dijual oleh Belanda.
Beberapa kebijakan Belanda yang meyebabkan orang-orang Indonesia terus miskin :
a.    Membeli murah, menjual mahal
Belanda selalu membeli hasil bumi orang-orang Indonesia dengan harga murah, sedangkan bahan-bahan makanan, kain dan barang-barang lainya dijual mahal kepada penduduk.
b.    Menjaga jumlah barang yang dimonopoli
Peraturan ini dijalankan supaya harga barang-barang tidak merosot. Jika permintaan tinggi, maka pengeluaran dilebihkan dengan syarat harganya tidak jatuh. Biasanya hasil yang berlebihan dengan menebang dan memusnahkan pohon-pohon, membakar atau mengubur hasil-hasil yang berlebihan itu supaya harganya tetap tinggi.
c.    Kerja paksa, peyelundupan dan perompakan di laut
Agar bisa mengontrol secara ketat terhadap hasil yang berlebihan serta memperoleh tenaga yang murah, maka Belanda melakukan kerja paksa. Kerja paksa yang berlebihan meyebabkan para petani itu masih meyediakan makananya sendiri, namun juga pernah menerima rangsum dari pemerintah Belanda. Monopoli Belanda ini juga menyebabkan terjadinya peyelunduban dan perompakan laut.
d.   Menjaga monopoli terhadap tanaman-tanaman
Disamping menjaga stok barang, Belanda juga menjaga tanaman-tanaman agar hasilnya tidak melebihi permintaan pasar,terutama tanaman rempah-rempah di Maluku, gula di Jawa dan lada dari Aceh. Untuk menjaga tanaman rempah-rempah di Maluku, Belanda melakukn pelayara Hongi yaitu pelayaran bersenjata untuk memusnahkan tanaman rempah-rempah yang dianggap melanggar peraturan. Pengawasan yang dilakukan Belanda ini membutuhkan biaya mahal dan juga menimbulkan dendam dari penduduk yang dirusak tanamanya, akibatnya VOC sekali lagi mengalami kerugian.
2.    Cara Kerja yang tidak efektif dan efesien
Pada mulanya VOC itu dimaksutkan sebagai bada perdagangan semata-mata. Tetapi setelah VOC itu berubah menjadi badan pemerintah, maka anggaran pemerintahan atas seluruh wilayah kekuasaannya melebihi keuntungan yang diperoleh. Pegawai-pegawai yang diangkat berdasarkan keinginan VOC dan tidak sesuai profesinya ini hanya diberi gaji kecil. Akibatnya terjadilah perdagangan pribadi dari pegawai yang paling rendah hingga Gubernur Jendral.
Sementara itu perlawanan dari rakyat Indonesia tidak ada heni-hentinya mlai dari perlawanan Sultan Agung, Sultan Hasanudin, Trunajaya, Sultan Ageng, Untung Surapati, Raden Mas Said, dan Pangeran Mangkubumi menyebabkan kas VOC semakin berkurang. Namun gaji yang rendah juga mendorong terjadinya korupsi besar-besaran sehingga keuntungan VOC semakin habis.
Ada beberapa cara pegawai VOC untuk memperkaya diri, yaitu
a.    Karena jabatan-jabatan dapat dibeli maka para pegawai VOC dapat megang lebih dari satu.
b.    Para pegawai VOC menjual barang-barang kepada VOC dengan harga yang lebih tinggi.
c.    Mereka mencuri barang-barang dari gudang VOC dan membaginya kepada sesama pegawai VOC.
d.   Sewaktu ingin mengirim barang, timbangan-timbangan dilakukan secara tidak betul sehingga terjadi sisa barang yang kemudian dijadikan milik pribadi.
e.    Mereka mempergunakan kemudahan-kemudahan VOC untuk menjalankan perdagangan pribadi.
3.    Saingan Perdagangan
Mula-mulanya Belanda menghadapi persaingan Portugis dan Inggris. Perdagangan Portugia akhirnya dapat dilumpuhkan. Sedangkan Inggris yang awalnya dapat didesak, namun karena menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, maka akhirnya justru menjadi persaingan Belanda yang utama dari Eropa. Disamping Inggris, orang-orang Bugis dengan pusat perdaganganya di Riau juga menjadi saingan yang hebat terhadap perdagangan Belanda. Pertempuran-pertempuran laut antara Inggris-Belanda dan Perancis dalam tahun 1780-1783 semakin berat beban keuangan yang ditanggung Belanda.
4.    Kemerosotan Perdagangan VOC
Kemerosotan ini tentu saja disebabkan oleh saingan-saingan dari perdagangan-perdagangan lain dan juga sebagai akibat dari keburukan sistem monopoli VOC. Sementara itu barang-barang impor yang dimasukan Belanda ke Indonesia, seperti kain, yang diharapkan akan dijual teryata rakyat tidak mampu membelinya. Akibatnya, perdagangan Belanda semakin kecil sementara kekuasaan politik mereka semakin bertambah besar.
5.    Besarnya Biaya untuk Menghadapi Perlawanan-perlawanan Rakyat
Keuntungan yang semakin berkurang dan biaya pemerintahan yang semakin bertambah, ditambah lagi VOC harus menghadapi perlawanan-perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia. Peperangan dengan Mataram, Banten, Makasar, bahkan campur tangan Belanda dalam perang perebutan tahta di Mataram sampai tiga kali,terutama perang melawan raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi menelan biaya banyak.
6.    Pembagian Keuntungan yang Mengecewakan terhadap Pemegang Saham
Dalam membagi keuntungan kepada para pemegang saham dalam kongsi dagang Belanda itu berlangsung secara tidak transparan. Dalam pembagian keuntungan itu, kadang VOC memberi keuntungan 50 % dari modalnya. Dalm tahun-tahun apabila VOC mendapat sedikit keuntungan, para pemegang saham itu jusru tidak diberi apa-apa. Teryata dengan memberikan keuntungan yang besar pada saat VOC merugi mengakibatkan hutang VOC semakin besar.
7.    Perang Inggris-Belanda dan Perancis 1780-1784
Permusuhan Inggris-Belanda dan Perancis dalam tahun 1780-1784 teryta merupakan pukulan yang terakhir terhadap keuangan VOC. Peragangan Belanda terhenti di semua kawasan akibat pengepungan Angkatan Laut Inggris yang sangat kuat, bahkan VOC terblokade. Sebagai akibat pula, maka dana yang dikeluarkan untuk menghadapi Inggris itu terlampau besar untuk ditanggung oleh kongsi dagan yang sedang paiili itu.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kedatangan Belanda pertama kali ke Indonesia oleh Cornelis de Houtman di Banten pada tahun 1596 mengalami kegagalan karena mendapat perlawanan dari rakyat, kemudian ekspedisi kedua Belanda di bawah pimpinan Jacob van Neck berhasil mendarat di Banten pada 1598. Mulai dari sanalah penjajahan di Indonesia berawal.
Adanya persaingan dagang antar sesama pengusaha Belanda memaksa Tuan-tuan Tujuh Belas (Heeren Zeventein) membentuk Kongsi Dagang Belanda yang diberi nama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Kongsi Dagang tersebut dipimpin oleh Gubernur Jenderal yang dipilih oleh Tuan-tuan Tujuh Belas.
VOC sangatlah penting bagi pemerintahan Belanda, sehingga VOC mempunyai hak-hak istimewa (hak oktroi) yang mana salah satunya VOC berhak memonopoli prdagangan di Nusantara, sehingga mengakibatkan rakyat menderita. Kedudukan VOC yang mulanya semata-mata hanya merupakan kongsi dagang kemudian diberi hak istemewa oleh Belanda mengakibatkan VOC harus mengeluarkan biaya lebih. Hal inilah yang mengakibatkan VOC menjadi runtuh, selain itu juga perlawanan dari rakyat Indonesia dan gaji pengawai yang rendah yang mengakibatkan terjadinya korupsi juga mendorong runtuhnya VOC.




e.       Referensi
ü Nugroho Notosusanto.1984.Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PT. Balai Pustaka
ü M.C Ricklefs.2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
ü Rz. Leirissa dkk. Sejarah Perekonomian Indonesia
ü Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 (dari Emporium-Imperium)