Beranda history History, Education & Tour: HERMENEUTIKA

Selasa, 30 Juni 2015

HERMENEUTIKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG MASALAH
Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Hermeneutik Baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi Protestan Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu teologis sekarang. Martin Heidegger tak henti-hentinya mendiskusikan karakter hermeneutis dari pemikirannya. Filsafat itu sendiri, kata Heidegger, bersifat (atau harus bersifat) “hermeneutis”.
Sesungguhnya istilah hermeneutika ini bukanlah sebuah kata baku, baik dalam filsafat maupun penelitian sastra; dan bahkan dalam bidang teologi penggunaan term ini sering muncul dalam makna yang sempit yang berbeda dengan penggunaan secara luas dalam “Hermeneutika Baru” teologis kontemporer
Hermeneutika selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks. Meski terjadi perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan seni memahami teks. Pada kenyataannya, hermeneutika pra-Heidegger (sebelum abad 20) tidak membentuk suatu tantangan pemikiran yang berarti bagi pemikiran agama, sekalipun telah terjadi evaluasi radikal dalam aliran-aliran filsafat hermeneutika. Sementara itu, hermeneutika filosofis dan turunannya dalam teori-teori kritik sastra dan semantik telah merintis jalan bagi tantangan serius yang membentur metode klasik dan pengetahuan agama.
Metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Yahudi-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya.
Para filosof hermeneutika adalah mereka yang sejatinya tidak membatasi petunjuk pada ambang batas tertentu dari segala fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala sesuatu yang ada di alam ini sebagai petunjuk atas yang lain. Jika kita mampu membedakan dua kondisi ini satu dan yang lainnya, maka kita dapat membedakan dua macam fenomena: ilmu dan pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan epistemologi, sedangkan masalah pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika. Sehingga dengan demikian, baik epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang berdampingan.
B.  RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana asal-usul dan definisi hermeneutika?
2.    Bagaimana dua bentuk hermeneutika?
3.    Bagaimana perkembangan filsafat hermeneutika beserta para tokohnya?
4.    Bagaimana kritik terhadap hermeneutika.
BAB II
PEMBAHASAN
A.  ASAL-USUL DAN DEFENISI HERMENEUTIKA
Sebelum kita mendefinisikan filsafat hermeneutika, kita akan mengetahui terlebih dahulu asal-mula kata hermeneutika. Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Yunani tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan dalam bentuk mitologi. Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan. Kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks.
Hermes diyakini oleh Manichaeisme sebagai Nabi. Dalam mitologi Yunani, Hermes yang diyakini sebagai anak dewa Zeus dan Maia bertugas menyampaikan dan menginterpretasikan pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dipahami manusia. Hermes mempunyai kaki bersayap dan dikenal dengan Mercurius dalam bahasa Latin. Menurut Abed al-Jabiri dalam bukunya Takwīn al-‘Aql al-‘Ârabi, dalam mitologi Mesir kuno, Hermes/Thoth adalah sekretaris Tuhan atau orisin Tuhan yang telah menulis disiplin kedokteran, sihir, astrologi dan geometri. Hermes yang dikenal oleh orang Arab sebagai Idris as, disebut Enoch oleh orang Yahudi. Baik Idris as, Hermes, Thoth, dan Enoch adalah merupakan orang yang sama.
Sosok Hermes ini oleh Sayyed Hossein Nasr kerap diasosiasikan sebagai Nabi Idris as. Menurut legenda yang beredar bahwa pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukang tenun. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang peran dewa Hermes, ternyata terdapat korelasi positif. Kata kerja “memintal” dalam bahasa latin adalah tegree, sedang produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika. Bagi Nabi Idris as atau Dewa Hermes, persoalan yang pertama dihadapi adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang memakai “bahasa langit” agar bisa dipahami oleh manusia yang menggunakan bahasa “bumi”. Di sini barangkali terkandung makna metaforis tukang pintal, yakni memintal atau merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar nantinya pas dan mudah dipahami (dipakai) oleh manusia.
Hermeneutika (Indonesia), hermeneutics (Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara bahasa punya makna menafsirkan. Seperti yang dikemukakan Zygmunt Bauman, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya “menjelaskan dan memelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein (menafsirkan) atau kata benda hermēneia (interpretasi). Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh (ungkapan). Kata Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien dan kata benda hermēneia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia. Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode hermeneutika.
Dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari “hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.
Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari hermēneuein, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan; (3)menerjemahkan. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk kata kerja bahasa Inggris, “to interpret.” Tetapi masing-masing ketiga makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi.
Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks.
Dalam Webster’s Third New International Dictionary dijelaskan definisinya, yaitu “studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel.”  Setidaknya ada tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra.
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis. Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya.
Dalam bahasa Yunani “hermeneus” berarti penerjemah. Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuien yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus.
B.  DUA BENTUK HERMENEUTIKA
Istilah hermeneutika dapat digunakan dalam dua arti:
1)   Menafsirkan teks-teks dari masa silam
2)   Menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah
Istilah hermeneutika mempunyai dua arti. Sekalipun istilahnya sama, namun ada perbedaan besar antara kedua arti. Teks-teks ditafsirkan, perbuatan-perbuatan diterangkan. Menurut arti pertama, kita melihat suatu kesatuan atau koherensi dalam sebuah teks, sedangkan menurut arti kedua, kita memberi jawaban terhaap pertanyaan, mengapa seorang pelaku historis berbuat demikian. Dalam interpretasi teks-teks, kita seolah-olah mengatasi masa silam serta bahan sejarah, agar mengambil suatu pendirian, dari mana kita dapat melihat kesatuan dan keterbautan. Dalam kasus kedua, kita mempergunakan bahan sejarah, agar lebih dalam dapat menyelami masa silam.



Penafsiran tentang                Bahan sejarah                 Masa silam sendiri
masa silam
1
3
2
 


Penafsiran teks secara hermeneutis                  Penjelasan secara hermeneutis

Penafsiran teks berpusat pada jalan dari (2) ke (1), sedangkan penjelasan hermeneutis menempuh jalan dari (2) ke (3). Maka jelaslah, bahwa titik perbandingan bagi CLM bukan penafsiran teks, melainkan penjelasan hermeneutis. Sama seperti CLM, maka penjelasan hermeneutis ingin memberi jawaban terhadap suatu pertanyaan, yakni “mengapa?”. Membandingkan CLM dengan teori hermeneutis mengenai penafsiran teks, tak ada gunanya.
Pada umumnya, dapat dikatakan, bahwa di Jerman, hermeneutika interpretatif menjadi pusat perhatian. Seperti telah kita lihat, itu sudah berlaku bagi Schleiermacher dan pasti berlaku bagi ahli hermeneutika Jerman terkemuka pada abad ini, ialah H.G Gadamer. Dalam Karya Dilthey, kita melihat suatu pembaharuan antara kedua bentuk hermeneutika sekalipun yang dittikberatkan ialah penafsiran teks. Dalam kalangan filsuf sejarah di Inggris dan Amerika Serikat, perhatian hampir secara eksklusif diarahkan kepada penjelasan hermeneutis. Ada satu perkecualian, ialah H. White, bertitik tolak pada gagasan yang aneh, bahwa masa silam sendiri hendaknya dipandang sebagai suatu teks, maka dari itu pendekatan dari sudut penafsiran merupakan pendekatan terbaik.
Selain pada penghayatan dari dalam dan menimba pengalaman hidup sendiri, masih ada dua ide pokok lain dalam hermeneutika yang menyebabkan pendekatan ini lain dari CLM. Dalam CLM dicari pola-pola hukum umum: ini ditolak dalam hermeneutika. Barang siapa masuk ke dalam  kulit seorang pelaku sejatrah, akan bertanya, bagaimana ia sendiri memberi reaksi-reaksi terhadap keadaan-keadaan tertentu. Dengan lain perkataan, bagaimana sikap atau reaksiku terhadap keadaan-keadaan ekstern. Ini lebih bersifat menentukan sebuah fakta daripada menerapkan pola-pola hukum umum. Ini berarti bahwa seorang hermeneutikus mengadakan suatu pembelahan yang ditolak oleh seorang penganut CLM. Menurut hermeneutika, terdapat suatu bidang penelitian ilmiah yang menuntut diterapkannya metode ilmiah eksak dari CLM di satu pihak dan bidan penelitian yang menuntut pendekatan hermeneutis di lain pihak, yaitu bidang perbuatan manusia seperti diteliti oleh seorang ahli sejarah.
Perbedaaan kedua anatara hermeneutika dan CLM ialah kedudukan si ahli sejarah, selaku subyek yang mengetahui dalam hermeneutika. Dalam CLM, subyek hampir tidak memainkan peranan. Dalam ilmu-ilmu eksakta, pribadi peneliti bahkan diabaikan.  
C.  PERKEMBANGAN FILSAFAT HERMENEUTIKA BESERTA PARA TOKOHNYA
1.    Hermeneutika Di Jerman
a.    F.D.E Schleirmacher
Schleirmacher adalah seorang teolog, ahli filologi dan budaya yang merupakan guru besar teologi dan filsafat Universitas Halle di Jerman. Ia dianggap sebagai bapak hermeneutika modern  sebab membakukan hermeneutika menjadi metode umum interpretasi yang tidak  terbatas pada kitab suci dan sastra. Pemikiran dalam karya-karyanya merupakan perluasan dari kuliah-kuliah kepada mahasiswa sejak tahun 1805. Sumber pemikiran Schleirmacher berasal dari epistimologi Kant, idealisme Schelling, Fichte dan Hegel serta empirisme Inggris. Dari epistimologi Kant dia mengambil uraian tentang peran akal atau nalar murni dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Idealisme Schelling yang diambil adalah pendangan tentang identitas pribadi yang mempengaruhi corak sebuah karya khususnya karya sastra, sehingga ia dipandang sebagai filosof romantik. Akan tetapi, pemikiran Kant yang menempati porsi utama dalam hermeneutika.
Schleirmacher memandang hermeneutika adalah sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks-teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma. Tugas hermeneutika adalah memahami teks-teks “sebaik atau lebih baik dari pengarangnya” dan “memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami dirinya sendiri”. oleh karena itu, Schleirmacher membagi pemahaman terhadap hermeneutika kedalam tiga tahap, yaitu:
a)    Tahap interpretasi dan pemahaman mekanis yaitu pemahaman dan interpretasi kita dalam kehidupan sehari-hari di jalan-jalan bahkan di pasar atau dimana saja orang berkumpul bersama untuk berbincang tentang topik umum.
b)   Tahap ilmiah yang dilakukan di universitas-universitas dan diharapkan adanya pemahaman serta interpretasi yang lebih tinggi. Tahap ini pada dasarnya adalah pemahaman dan observasi.
c)    Tahap ketiga adalah tahap seni yaitu aturan yang mengikat atau membatasi imajinasi
Pada tahap pertama dan kedua menurut Schleirmacher tidak membawa pada pemahaman yang semestinya. Karena pada kenyataannya teks yang dihadapi tidak cocok untuk taraf-taraf interpretasi dan bahkan sering bertentangan. Schleirmacher lebih cocok pada tahap ketiga karena penekanannya pada seni. Karena bagi Schleirmacher “sebagai suatu seni maka tidak ada hermeneutika yang sudah dikhususkan penggunaannya”. Pemahaman yang selalu dipasangkan dengan interpretasi tidak lain adalah seni, dalam arti bahwa seseorang tidak dapat meramalkan waktu dan cara seseorang mengerti.
Pemahaman Schleirmacher dalam arti seni ditunjang oleh pemahamannya terhadap bahasa. Bahasa hadir sebagai bagian penting dari keseluruhan sistem hermeneutikanya. Menurutnya semakin lengkap pemahaman seseorang atas sesuatu bahasa dan psikologi pengarang, akan semakin lengkap pula interpretasinya. Kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam hal seni interpretasi. Schleirmacher disini memandang bahasa sebagai sesuatu yang identik dengan pikiran. Dari ekspresi bahasa, ciri-ciri pemikiran masyarakat dapat ditentukan.
Schleirmacher menciptakan dua bentuk hermeneutika yaitu pemahaman ketatabahasaan dan pemahaman psikologis yang ditunjukan oleh jiwa pengarang. sehingga hermeneutikanya sering disebut sebagai hermeneutica intelligendi karena penalaran rasional dan intuisi merupakan dua bentuk kecerdasan tertinggi yang dimiliki manusia. Meskipun individualitas pengarang merupakan tumpuan utama dalam hermeneutikanya, tetapi konteks kesejarahan dan budaya pengarang menjadi pertimbangan yang penting.
Sebuah tafsir membutuhkan intuisi tentang teks yang sedang dipelajari. Sebuah teks yang sedang dipalajari tidak asing bagi kita, juga tidak sepenuhnya biasa bagi kita. Keasingan dalam suatu teks dapat diatasi dengan mencoba memahami si pengarangnya dengan cara membuat konstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin pengarangnya serta berimpati kepadanya. Dengan kata lain, kita harus membaut penafsiran psikologis atas teks sehingga dapat memproduksi pengalaman pengarang. Pandangan Schleirmacher kemudian menuai kritikan karena terlalu psikologis dan mengalami kesulitan karena berusaha untuk mengatasi kesenjangan waktu yang memisahkan antara cakrawala budaya dengan cakrawala budaya pengarang
Prosedur pemahaman dalam hermeneutika yang diajukan oleh Schleirmacher agak sederhana. Pemahaman dan penafsiran harus diawali dengan perumusan prinsip-prinsip pemahaman terlebih dahulu. Kemudian membangun hermeneutika yang umum. Seorang pembaca yang ingin memhami sebuah teks harus keluar dari pendiriannya atau teori yang diyakininya agar terbuka terhadap pendirian pengarang yang mungkin berbeda dengan pendiriannya dalam berbagai persoalan.
b.   Wilhelm Ditlhey
Dithey merupakan salah satu penganggum dari filsafat Schleirmacher yang menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan. Ini merupakan titik awal Dithey menjadi seorang filsuf. Dithey menaruh perhatian pada filsafat kehidupan. Karena filsafat bagi Dithey bersifat esensial historis. Peristiwa-peristiwa sejarah telah menunjukan jiwa manusia yang berubah dalam alur waktu dengan cara yang tidak kelihatan. Karena manusia adalah makhluk yang hidup dan berevolusi
Ditley menaruh perhatian pada metode hermeneutika ketika mencoba untuk memecahkan persoalan tentang bagaimana segala pengetahuan tentang individu atau pengetahuan tentang singularitas eksistensi manusia menjadi ilmiah. Oleh itulah perlu pemahaman diri yang mutlak. Pengalaman tentang geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang hidup tergantung pada pengalaman-pengalaman batin yang tidak terjangkau oleh metode ilmiah (Hamidi, 2007:62). Atas dasar itulah Dithey menyarankan untuk menggunakan hermeneutika.
Menurut dia hermeneutika adalah dasar pemahaman yang khusus mengenai geisteswissenschaften. Berkenaan dengan keterlibatan individu dalam kehidupan bermasyarakat yang hendak dipahami, ia merasa perlu memiliki tipe pemahaman yang khusus (penafsiran reproduktif). Meskipun orang dapat menyadari keadaan dirinya melalui ekspresi orang lain, namun orang masih dirasa perlu untuk membuat interpretasi atas ekspresi tersebut. Hermeneutika dapat bekerja jika ekspresi sudah dikenal atau tidak asing. Oleh karena itu hermeneutika bagi Dithey bersifat kesejarahan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi harus dipahami sebagai suatu ekspresi kehidupan sejarah, sehingga yang diproduksi bukankah pengarangnya tetapi makna peristiwa sejarahnya Ini berarti bahwa makna itu tidak berhenti pada satu masa saja tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarahnya.
Bagi filosof yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher.
Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya ia hentikan. Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab ia tidak mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang. Selain itu Dilthey juga mencoba mengangkat hermeneutika menjadi suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dan mengembangkannya menjadi metode-metode dan aturan-aturan yang menentukan obyektifitas dan validitas setiap ilmu. Bagi Dilthey hermeneutika universal memerlukan prinsip-prinsip epistemologi yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Menurutnya, dalam tindakan pemahaman historis, yang harus berperan adalah pengetahuan pribadi mengenai apa yang dimaksudkan manusia. Jika Kant menulis Crituque of Pure Reason, ia mencurahkan pemikiran untuk gagasan Crtique of Historical Reason.
Wilhelm Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi dua disiplin: ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan alam sebagai obyek penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh karena obyek dari ilmu alam berada di luar subyek, ia diposisikan sebagai sesuatu yang datang kepada subyek, sebaliknya karena obyek ilmu sosial-humaniora berada di dalam subyek itu sendiri, keduanya seolah tak terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu ini menurut Dilthey bukan obyeknya semata, tapi juga orientasi dari subyek pengetahuan, yakni “sikapnya” terhadap obyek.
Dengan demikian, perbedaan kedua disiplin ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan ontologis. Secara epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan penjelasan (Erklaren), yakni menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya dengan menggunakan teori. Sebab, pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin ilmu sosial-humaniora mengunakan pemahaman (Verstehen), dengan tujuan untuk menemukan makna obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi pencampuran antara pengalaman dan pemahaman teoritis. Dilthey menganggap makna obyektif yang perlu dipahami dari ilmu humaniora adalah makna teks dalam konteks kesejarahaannya. Sehingga, hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkonstruksi dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks.
Dilthey menjadihan hermeneutika sebagai komponen utama bagi fondasi ilmu humaniora (Geistesswissenchaften). Ambisi ini menyebabkan Dilthey telah meluaskan penggunaan hermeneutika ke dalam segala disiplin ilmu humaniora. Jadi, dalam pandangan Dilthey, teori hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa.

c.    Hans-Georg Gadamer
Gadamer merupakan murid dari Martin Heidegger yaitu filsuf besar hermeneutika modern pada abad ke-20. Gadamer meneruskan pemikiran Heidegger yang terkenal dengan lingkaran hermeneutis. Dalam gagasan Heidegger, hermeneutika merupakan bagian dari eksistensi manusia sendiri, built in dalam diri manusia. Dalam memahami dunia dan sejarahnya, manusia merupakan cakrawala bagi pemahaman dirinya. Suatu objek menampakkan dirinya hanya dalam suatu keseluruhan makna, dan setiap pengertian tentang objek baru terjadi karena adanya pemahaman yang dahuluinya sebagai the conditions of possibility (syarat-syarat kemungkinan)
Gagasan tentang lingkaran hermeneutis dikembangkan oleh Gadamer hingga menjadi sebuah teori filosofis mengenai pemahaman sehingga menjadi hermeneutika filosofis. Gadamer melontarkan kritiknya terhadap hermeneutika romantik yang dirintis oleh Schleiermacher dan Dilthey. Baginya, kesenjangan waktu antara kita dan pengarangnya tidak harus diatasi seolah-olah sebagai suatu yang negatif, tetapi justru harus dipikirkan sebagai perjumpaan cakrawal-cakrawala pemahaman. Cakrawala pemahaman dapat diperkaya dengan membandingkannya dengan cakrawala-cakrawala pengarang. oleh karena itu, penafsiran tidak bersifat reproduktif belaka tetapi juga produktif. Artinya bahwa makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya melainkan makna baru bagi kita yang hidup di zaman ini, maka menafsirkan adalah proses kreatif-inovatif.
Gadamer memandang bahwa hermeneutika adalah seni bukan proses mekanis. Jika pemahaman adalah jiwa dari hermeneutika, maka pemahaman tidak dapat dijadikan pelengkap proses mekanis. Pemahaman dan hermeneutika hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni. Pemikirannya mengenai hermeneutika, salah satunya adalah konsep mengenai manusia yaitu, bildung atau kebudayaan, Sensus Communis atau pertimbangan praktis yangbaik, Sense Communis dan selera.
Gadamer menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis. Gadamer melontarkan konsep “pengalaman” historis dan dialektis, di mana pengetahuan bukan merupakan bias persepsi semata tetapi merupakan kejadian, peristiwa, perjumpaan. Gadamer menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman individu. Gadamer mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita sendiri. Proses dialektika memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan yang menjadi sebab karya itu ada.
Dia umpamakan pemahaman manusia sebagai interpretasi-teks. Dalam proses memahami teks selalu didahului oleh pra-pemahaman sang pembaca dan kepentingannya untuk berpatisipasi dalam makna teks. Kita mendekati teks selalu dengan seperangkat pertanyaan atau dengan potensi kandungan makna dalam teks. Melalui horizon ekspektasi inilah kita memasuki proses pemahaman yang terkondisikan oleh realitas sejarah. Hermeneutika dalam pengertian Gadamer adalah interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter. Inilah yang ia sebut dengan effective historical consciousness yang struktur utamanya adalah bahasa.
Menurut Gadamer, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang dimiliki manusia, namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa pra-duga adalah tidak terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic circle, jika kita berusaha keluar dari lingkaran tersebut. Menurut Gadamer, ketika kita berusaha memahami sebuah teks kita akan berhadapan dengan koherensi relatif dari ruang lingkup makna. Jadi, sebenarnya ada dua metode yang perlu dihindari ketika memahami sesuatu. Pertama, sikap reduktif ketika dengan seenaknya  memasukkan konsep kita sendiri dengan berlebih-lebihan ke dalam ruang lingkup budaya, sehingga menafikan kekhususan maknanya; kedua, sikap self-effacement ketika kita menafikan kepentingan kita sendiri dengan berusaha masuk ke dalam kacamata orang lain. Kedua metode tersebut tidak menyelesaikan persoalan ilmu yang objektif karena masih terjerat dengan dikotomisasi antara subjek atau objek, padahal kondisi primordial kita melampaui hubungan antara subjek dan objek.
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”. Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”. Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna obyektif teks. Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks.
2.    Hermeneutika Di Inggris Dan Amerika
R.G Collingwood (1889-1943), seorang ahli arkeologi dan filsuf sejarah berkebangsaan Inggris dipandang sebagai juru bicara pendirian hermeneutis yang klasik. Collingwood membantah skeptisisme, sejauh skeptisisme itu berdasarkan pandangan, bahwa kita tidak dapat memperoleh pengetahuan mengenai masa silam yang dapat diandalkan, karena kita tidak lagi dapat mengalami masa silam itu. Jaaban Collingwood ialah bahwa masa silam dapat diulangi kembali dalam batin kita sehingga pengetahuan berdasarkan pengalaman mengenai masa silam tidak mustahil.
Teori Collingwood mengenai re-enactment bukan pertamatama suatu jawaban terhadap pertanyaan mengenai keterangan atau penjelasan historis, melainkan bagaimana kita dapat memeperoleh pengetahuan yang dapat diandalkan mengenai masa silam.
Hermeneutika yang dikembangkan Collingwood, jelas dan sederhana. Ia berpendapat, bahwa semua sejarah merupakan sejarah alam pikiran. Collingwood menggarisbawahi, bahwa ”re-enactment” itu bukanlah hasil intuisi penelitian sejarah yang tak dapat dikontrol. Si peneliti sejarah tidak “menghapus” dirinya sendiri, lalu menjelma kembali dalam batin seorang tokoh sejarah. “Re-enactment” mrupakan suatu proses yang payah dan panjang; sipeneliti sejarah maju langkah demi langkah, berdasarkan pengetahuannya mengenai masa silam dan keadaan yang meliputi tokoh sejarah yang bersangkutan, lalu dalam batinnya sendiri mengulangi pikiran si tokoh sejarah. Tetapi, peneliti sejarah selalu sadar, bahwa “re-enactment” itu terjadi dalam batinnya sendiri—tertampung dalam alam pikirannya sendiri-sehingga tidak terjadi identifikasi total antara peneliti sejarah dan tokoh sejarah. Tentu saja, peneliti sejarah hendak selalu penuh imajinasi, ia harus pandai mengadakan ekstrapolasi dan intrapolasi menurut pengalamannya sendiri, tetapi “re-enactment” itu merupakan suatu proses yang dapat diikuti setapak demi setapak oleh kritik sejarah dan juga dapat nilainya.

D.  KRITIK TERHADAP HERMENEUTIKA
a)   Adakah Hermeneutika itu berawal pada Descartes?
Descartes, seorang filsuf Prancis  (1596-1650), berpendapat bahwa manusia terdiri atas dua unsur yang berbeda-beda, yaitu jiwa dan tubuh, atau seperti diungkapnya sendiri, roh dan keterbentangan (seperti semua objek material, maka tubuh kita terbentang dalam ruang dan waktu). Rupanya para hermeneutisi , seperti Collingwood dan Dray , mendukung ddhikotomi manusia seperti itu. Collingwood membedakan antara “segi-dalam” mental dan “segi-luar”, pada perbuatan kita yang dapat diamati dalam ruang dan waktu.
Adapun para filsuf dewasa ini tidak begitu simpati terhadap dikhotomi ala Descartes itu. Gilbert Ryle, yang berjudul The Concept of Mind (1948), bahwa “segi-dalam” dan “segi-luar” dalam perbuatan kita, tidak dapat dipisahkan bagaikan dua kotak seperti disangka Descartes. Berpikir (“segi-dalam”) tidak terletak di belakang atau di luar perbuatan klebih kita (“segi-luar”), tetapi lebih memperlihatkan diri dalam perbuatan kita.
Kita sering berbicara tentang “perbuatan bodoh” atau “perbuatan cerdas”, dan itu mustahil andai kata pikiran dan perbuatan merupakan dua kategori yang berbeda sama sekali seperti dikatakan Descrates. Teori (berpikir) dan praktek (berbuat)  tidak dapat dipisahkan seperti dua kotak, tetapi selalu berjalan berbarengan, sekalipun kita berpikir dulu sebelum berbuat.
Tetapi sekalipun ungkapan-ungkapan seperti dipergunakan oleh para para hermeneutisi memberi kesan, seolah-olah mereka mengikuti dikhotomi ala Descartes, namun dalam praktek mereka tak pernah tergelicir dalam konsep-konsep Descartes mengenai hubungan antara jiwa dan tubuh. Cara hermeneutikus menghayati dari dalam batin seseorang, bukanlah seolah-olah ia memasuki sebuah bilik terkunci dalam diri seseorang pelaku sejarah (demikian pandangan Descartes). Andaikata “segi-luar” yang secara obyektif dapat diamati dan “segi-dalam” mental dalam perbuatan kita, memang terpisah total, maka mustahillah memasuki “bilik terkunci” dalam diri seorang pelaku sejarah. Antara tubuh dan jiawa tiada sebuah jembatan yang dapat kita lewati, agar dari “segi-luar”  memasuki “segi-dalam”. Dengan asumsi ala Descartes, hermeneutika lalu bunuh diri.
Maka dari itu, tidak ada seorangpun hermeneutikus yang tergoda untuk menerima atau membela pembedaaanDescartes anatara jiwa dan badan. Batin yang ingin dimasuki seorang hermeneutikus, bukanlah kesadaran paling pribadi dalam diri seorang pelaku sejarah, melaikan kehidupan, atau lebih tepat, kebertautan dalam hidup seorang pelaku sejarah. Seorang hermeneutikus memahami sebuah perbuatan seorang pelaku sejarah atau suatu peristiwa dalam hidupnya, dalam keseluruhan hidup orang itu, bukannya sebagai suatu keadaan dalam kesadaran pribadi pelaku sejarah itu.
Ternyata hermeneutika sering jelas sama sekali tidak setuju dengan pandangan Descartes. Jadi, hermeneutika tidak tergelincir dalam dikhotomi Descartes, bahkan dengan tegas menolaknya.

b)   Adakah Hermeneutika mengandaikan CLM?
Penjelasan hermeneutika berbentuk demikian:
(1)     Dalam keadaan historis k, seorang pelaku sejarah mengembangkan pikiran atau motivasi p;
(2)     Perbuatan b serasi dengan pikiran atau motivasi p  
Para penganut CLM, saya (seorang peneliti sejarah) dapat mengaitkan suatu keadaan tertentu dengan suatu pikiran dan perbuatan tertentu, berdasarkan pengalaman hidupku sendiri, tetapi dengan demikian belum terbukti sesuatupun. Baru, bila saya tahu, bahwa bukan hanya saya sendiri, tetapi juga O1, O2, O3 dan seterusnya, dengan cara yang sama mengaitkan keadaan, pikiran, dan perbuatan tertentu, maka mengaitkan keadaa, pikiran,, dan perbuatan tertentu, maka boleh disimpulkan bahwa proses serupa itu mungkin juga terjadi dalam diri pelaku sejarah.
Dengan lain perkataan, kita memerlukan suatu pola hukum umum,bagaimana pada umumnya orang-orang mengaitkan keadaan tertentu dengan pikiran dan perbuatan tertentu.  Dan ini berarti, bahwa modul penjelasan hermeneuitis ternyata didasarkan, sekalipun implisit, pada suatu pola hukum umum, biarpun ini disangkal oleh para hermeneutisi. Maka dari itu, rupanya hermeneutika merupakan suatu varian terhadap CLM. Ini tidak berarti, bahwa para penganut CLM berpendapat, bahwa hermeneutika tak ada gunanya atau tidak masuk akal. Menghayati batin seseorang pelaku sejarah, kadang-kadang dapat menimbulkan gagasan, mengapa si pelaku melakukan sesuatu. Tetapi, dugaan-dugaan serupa itu baru menjadi penjelasan yang dapat diterima, bila dites pada pola-pola hukum umum yang relevan. Nilai hermeneutika terbatas pada heuristik, artinya hanya merupakan sarana agar kita dapat sampai pada suatu dugaan mengenai kenyataan.
Jelaslah bahwa keberatan yan diajukan terhadap hermeneutika dari sudut CLM juga dapat diajukan terhadap action rationale explanation ala Dray. Cukup menarik juga memperhatikan, bagaimana Dray telah berusaha menangkis keberatan-keberatan itu. Ia mengusulkan agar membedakan:
(1)     Usaha membenarkan perbuatan-perbuatan kita (dengan menyebut alasan-alasan kita)
(2)     Melacak alasan yang sebenarnya yang melatarbelakangi perbuatan kita.
Dalam kasus pertama, kita berurusan dengan suatu legitimasi dan usaha itu selalu berupa, menyebut alasan-alasan yang pada umumnya mendorong kita, untuk berbuat seperti kita perbuat. Di sini pendekatan ala CLM memang perlu. Dalam kasus kedua, kita menyusun kembali gagasan-gagasan kita dengan membayangkan kembali suatu situasi yang pada suatu saat tertentu meliputi kita. Disini kita tidak mengacu kepada pola-pola hukum umum, kita hanya kembali ingat kembali akan sesuatu. Maka dari itu, kata Dray, action rationale explanation hendaknya dikaitkan dengan proses kedua, bukan dengan proses pertama.
Pembelaan Dray tidak meyakinkan para penganut CLM. Mereka setuju, bahwa bila kita ingat akan alasan bagi suatu perbuatan, maka pada dasarnya kita memang hanya menentukan suatu peristiwa dari masa silam dan tidak menerapkan pola-pola hukum umum.
c)    Jangkauan Hermeneutika yang terbatas
Keberatan utama yang dapat diajukan terhadap penjelasan hermeneutis ialah jangkauannya yang sangat terbatas. Baik penjelasan hermeneutis, maupun penjelasan teloelogis, meperlihatkan dua kekurangan. Adapun pretensi penjelasan hermeneuitis ialah memberi pengertian mengenai cara para peneliti sejarah melacak arti seala gagasan dan perbuatan yang sama-sama mewujudkan kenyataan sosio-historis.
Keberatan utama terhadap modul penjelasan hermeneutis hubungan antara “segi-dalam” dan “segi-luar” dalam perbuatan manusia, maka hermeneutika kurang memperhatikan interaksi dalam perbuatan-perbuatan anatara manusia, atau seperti dikatakan Hegel, akibat yang tidak disengaja dalam perbuatan manusia yang terarah kepada suatu tujuan.
Seorang peaku sejarah tak pernah dapat dilukiskan dengan mempergunakan konsep-konsep serupa itu dan tak pernah dapat dijadikan titik pertemuan lagi “verstehen”, penghayatan atau “re-enactment”, bila masa silam ingin kita analisis dengan konsep-konsep itu. Pada bidang-bidang yang penting sekali bagi penelitian sejarah, hermeneutika terpaksa angkat tangan, tidak berdaya. Bahkan, penelitian mengenai alam pikiran dan perasaan manusia dari masa silam-yang rupanya merupakan obyek yang paling cocok bagi suatu analisis hermeneutis-sebetulnya sudah di luar jangkauan hermeneutika.
d)   Hermeneutika kurang memiliki kesadaran historis
Akhirnya hermeneutika sama dengan CLM dapat dipersalahkan, karena kurang memiliki kesadaran historis. Penghayatan mengandaikan, bahwa cara seorang peneliti sejarah menanggapi keadaaan dalam lingkungannya, pada pokoknya sama dengan cara seorang pelaku sejarah bereaksi terhadap lingkungannya. Baru, bila pelaku sejarah mengaitkan keadaan pikiran, dan perbuatan sama seperti seorang peneliti sejarah maka pendekatan hermeneutis membuka jalan untuk menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah. Tetapi, hendaknya kita ingat, bahwa seorang peneliti sejarah justru meneliti masa silam. Ini berarti, bahwa seorang peneliti sejarah, pada prinsipnya tidak menaruh minat terhadap pikiran dan perbuatan seorang pelaku sejarah, sejauh pikiran dan perbuatan itu tidak berbeda dengan pikiran dan perbuatannya sendiri. Justru perbuatan itulah yang diminati oleh hermeneutika



BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hermeneutika terutama berurusan dengan teks-teks. Manakala kita sedang membaca sebuah teks dari seorang pengarang yang kita kenal baik yang hidup sezaman dengan kita, tidak tidak akan menghadapi kesulitan  memahami kalimat-kalimat dan kata-kata maupun istilah-istilah khusus yang termuat di dalam teks tersebut. Di sini kita berusaha keras untuk menangkap makna sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengarangnya. Kita menghadapi problematik autentisitas makna teks. Dan di sinilah kita berhadapan dengan “problematik hermeneutik”: bagaimana menafsirkan teks itu. Problematik ini dihadapi dalam berbagai bidang sejauh menyangkut penafsiran, misalnya bidang kesusasteraan, tradisi-tradisi religius (kitab-kitab suci, doktrin-doktrin, hukum-hukum), bidang hukum, ilmu sejarah (prasasti, dokumen-dokumen kuno), musikologi, politikologi, dan sebagainya. Oleh karena itu, memahami apa itu hermeneutika teks akan sangat bermanfaat untuk menambah wawasan atau cara pandang kita terhadap produk-produk budaya masa lalu atau tradisi beserta ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya

DAFTAR PUSTAKA
Agus, Darmaji. Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman Hermeneutik. Jakarta : Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
F.R Ankersmit. 1987. Refleksi Tentang Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia
KM. Newton. Menafsirkan Teks. New York
Http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika/Studi Hermeneutika dan Penerapannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar