BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demokrasi
terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi dimana seluruh keputusan dan pemikiran
berpusat pada pemimpin negara. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali
diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada
tanggal 10 November 1956. Masa demokrasi terpimpin (1957-1965) dimulai dengan
tumbangnya demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang ditandai
pengunduran Ali Sastroamidjojo sebagai perdana menteri.
Pelaksanaan
sistem Demokrasi Terpimpin, sebenarnya merupakan wujud dari obsesi Presiden
Soekarno yang dituangkan dalam Konsepsinya pada tanggal 21 Februari 1957, yang
isinya mengenai penggantian sistem Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi
Terpimpin, pembentukan Kabinet Gotong Royong, dan pembentukan Dewan Nasional.
Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca Pemilihan Umum 1955 membuat
situasi politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan negara
menjadi dalam keadaan darurat. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante
yang mengalami kegagalan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga negara
Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Jelaskan kenapa dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959?
2.
Jelaskan pelaksanaan Sistem Demokrasi Terpimpin?
3.
Jelaskan pelaksanaan Sistem Ekonomi Terpimpin?
4.
Jelaskan proses pembebasan Irian Barat (Jaya)?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Pemilu yang
pertama diselenggarakan pada masa Kabinet Burhanudin Harahap tahun 1955, di
antaranya adalah untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas merumuskan
UUD baru. Namun dalam kenyataannya sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah
berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar baru. Keadaan itu semakin mengguncangkan
situasi politik di Indonesia pada saat itu. Bahkan, masing-masing partai politik
selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik negara Indonesia
semakin buruk dan kacau. Keadaan yang semakin bertambah kacau ini bisa
membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana
semakin bertambah panas karena adanya ketegangan yang diikuti dengan
keganjilan-keganjilan sikap dari setiap partai politik yang berada di
Konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah
mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang
Konstituante. Namun, Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.
Kegagalan
Konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat undang-undang
dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutan konstitusional.
Undang-Undang Dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara
belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950)
dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan
kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak
menentu itu, pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang
disebut dengan Konsepsi Presiden. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa
tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan
berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Pemberlakuan kembali
Undang-undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan
dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut:
a.
Pembubaran Konstituante,
b.
Berlakunya kembali UUD 1945 dan idak berlakunya UUDS
1950,
c.
Pembentukkan MPRS dan DPAS.
2.2
Sistem Demokrasi Terpimpin
Lima hari
setelah Dekrit Presiden, Kabinet Karya dibubarkan dan pada tanggal 09 Juli 1959
digantik dengan Kabinet Kerja. Dalam Kabinet ini Presiden Soekarno bertindak
selaku Perdana Menteri, sedangkan Ir. Djuanda menjadi Menteri Pertama dengan
dua orang wakilnya Dr. Leimena dan Dr. Subandrio. Program cabinet meliputi
penyelenggaraan keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi
sandang pangan rakyat.
Setelah terbentuknya kabinet pada 22 Juli 1959, Presiden Soekarno membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketahui oleh Presiden dengan Penpres no. 3 tahun 1959 dengan 45 orang anggota yang terdiri dari 12 wakil golongan politik, 8 orang utusan/ wakil daerah, 24 orang wakil golongan karya, dan 1 orang wakil ketua. Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah (pasal 16 ayat 2 UUD 19450. Para anggota DPA dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959. Pada upacara peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang bersejarah yamh berjudul “ Penemuan kembali revolusi kita” pidato tesebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban Presiden atas dekrit 5 Juli 1959 serta garis kebijakan Presiden Soekarno dalam mengenalkan sistem demokrasi terpimpin.
Setelah terbentuknya kabinet pada 22 Juli 1959, Presiden Soekarno membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketahui oleh Presiden dengan Penpres no. 3 tahun 1959 dengan 45 orang anggota yang terdiri dari 12 wakil golongan politik, 8 orang utusan/ wakil daerah, 24 orang wakil golongan karya, dan 1 orang wakil ketua. Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah (pasal 16 ayat 2 UUD 19450. Para anggota DPA dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959. Pada upacara peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang bersejarah yamh berjudul “ Penemuan kembali revolusi kita” pidato tesebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban Presiden atas dekrit 5 Juli 1959 serta garis kebijakan Presiden Soekarno dalam mengenalkan sistem demokrasi terpimpin.
Dalam
sidangnya pada bulan September 1959, DPA dengan suara bulat mengusulkan kepada
pemerintah agar pidato Presiden Soekarno tersebut dijadikan garis- garis besar
haluan negara. Usul DPA itu diterima baik oleh Presiden Soekarno. Rumusan DPA
atas pidato tersebut menjadi garis- garis besar haluan negara berjudul
“Manifesto politik Republik Indonesia” disingkat Manipol. Selanjutnya dengan
penetapan Presiden no.2 tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959 dibentuk Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang anggota- anggotanya ditunjuk dan
diangkat oleh Presiden dengan beberapa persyaratan, yaitu setuju kembali ke UUD
1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik.
Berdasarkan UUD 1945, keanggotaan MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah
dengan utusan- utusan dari daerah dan wakil- wakil golongan. Tindakan Presiden
Soekarno selanjutnya dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin adalah mendirikan
lembaga- lembaga negara baru, yaitu Front Nasional yang dibentuk melalui
penetapan Presiden no. 13 tahun1959. Dalam penetapan itu disebutkan, Front
Nasional adalah suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi
dan cita- cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional itu diketuai oleh
Presiden Soekarno.
Dalam regrouping pertama kabinet yang berdasarkan keputusan Presiden no. 94 tahun 1962, dilakukan pengintergrasian lembaga- lembaga tertinggi negara dengan eksekutif, yaitu MPRS, DPR GR, DPA, MA, dan Dewan Perancang Nasional. Pimpinan lembaga- lembaga negara tersebut diangkat menjadi Menteri dan ikut serta dalam sidang- sidang cabinet tertentu, yang selanjutnya ikut merumuskan dan mengamankan kebijakan pemerintahan dalam lembaga masing- masing.
Dalam regrouping pertama kabinet yang berdasarkan keputusan Presiden no. 94 tahun 1962, dilakukan pengintergrasian lembaga- lembaga tertinggi negara dengan eksekutif, yaitu MPRS, DPR GR, DPA, MA, dan Dewan Perancang Nasional. Pimpinan lembaga- lembaga negara tersebut diangkat menjadi Menteri dan ikut serta dalam sidang- sidang cabinet tertentu, yang selanjutnya ikut merumuskan dan mengamankan kebijakan pemerintahan dalam lembaga masing- masing.
Selain
lembaga-lembaga tersebut, Presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan
Revolusi (MPPR) berdasarkan penetapan Presiden no. 4 tahun 1962, MPRS beserta
stafnya merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam mengambil
kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR
terdiri dari sejumlah Menteri yang mewakili MPRS dan DPR GR, dapertemen,
angkatan- angkatan, dan para pemimpin partai politik Nasakom (Nasionalis,
Agama, dan Komunis). Dalam perkembangan selanjutnya kekuatan politik pada waktu
itu terpusat ditangan presiden Soekarno dengan TNI AD dan PKI disampingnya. (http://akrabsenada.blogspot.com/2013/08/dekrit-presiden-5-juli-1959-dan.html)
di akses 24 Maret 2014.
2.3
Sistem Ekonomi Terpimpin
a. Ekonomi- Keuangan
Untuk
merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang
mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah:
a)
Mempersiapkan rancangan undang-undang Pembangunan Nasional
yang berencana (pasal 2).
b)
Menilai penyelenggara pembangunan itu (pasal 3).
Selanjutnya
pada tanggal 15 Agustus 1959 terbentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas)
di bawah pimpinan Mr. Muh Yamin sebagai Wakil Menteri Pertama yang
beranggotakan 80 orang wakil golongan masyarakat dan daerah. Dalam waktu kurang
lebih satu tahun, Depernas berhasil menyusun suatu “Rancangan Dasar
Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun
1961-1969.” MPRS menyetujui rancangan tersebut. Pada tahun 1963, Dewan
Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang Pembangunan Nasional
(Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Bappenas mempunyai tugas
menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan rencana tahunan baik nasional
maupun daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan. Dalam rangka
usaha membendung inflasi maka dikeluarkan kebijakan:
a)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun
1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan
untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk kepentingan perbaikan
keadaan keuangan dan perekonomian negara.
b)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.3 tahun
1959 tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank yang dimaksudkan
untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran, yang terutama dalam tahun 1957
dan 1958 sangat meningkat jumlahnya.
c)
Peraturan moneter tanggal 25 Agustus 1959 diakhiri
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.6/1959, yang isi
pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran seribu rupiah dan lima ratus
rupiah yang masih berlaku ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal
1 Januari 1960.
Untuk menampung
akibat-akibat dari tindakan moneter dari bulan Agustus 1959 dibentuklah Panitia
Penampung Operasi Keuangan (PPOK). Tugas pokok dari panitia ini ialah
menyelenggarakan tindak lanjut dari tindakan moneter itu, tanpa mengurangi
tanggung jawab menteri, departemen, dan jawatan yang bersangkutan.
Dengan tindakan moneter tanggal 25 Agustus 1959 tersebut, pemerintah bertujuan akan dapat mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan moneter. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi pada akhir tahun 1959 itu juga, diketahui bahwa pemerintah mengalami kegagalan. Semua tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya.
Dengan tindakan moneter tanggal 25 Agustus 1959 tersebut, pemerintah bertujuan akan dapat mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan moneter. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi pada akhir tahun 1959 itu juga, diketahui bahwa pemerintah mengalami kegagalan. Semua tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya.
Sejak tahun
1961, Indonesia terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari
cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam
sejarah moneternya, Indonesia sudah habis membelanjakan cadangan emas dan
devisanya. Presiden Soekarno menganggap perlu untuk mengintegrasikan semua Bank
Negara ke dalam suatu organisasi Bank Sentral. Untuk itu dikeluarkan Penetapan
Presiden No.7 tahun 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tugas
bank tersebut adalah menjalankan aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank
sentral dan bank umum. Maka kemudian diadakan peleburan bank-bank negara
seperti: Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN); Bank Umum Negara; Bank Tabungan
Negara; Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Sesudah pengintegrasian
Bank Indonesia itu selesai, barulah dibentuk Bank Negara Indonesia.
b. Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri
Ekonomi
Indonesia bersifat agraris, karena lebih kurang 80% dari penduduk hidup dari
berkecimpung dalam bidang pertanian. Sebagian hasil dari pertanian atau
perkebunan yang dihasilkan setiap tahunnya dijual dan diekspor ke luar negeri
untuk memperoleh devisa atau valuta asing untuk membeli atau mengimpor berbagai
bahan baku dan barang konsumsi yang belum dapat dihasilkan di Indonesia. Oleh
karena itu, untuk dapat mengimpor kebutuhan- kebutuhan dari luar negeri adalah
mutlak, neraca perdagangan kita dengan luar negeri harus menunjukkan terms of
trade yang menguntungkan. Apabila itu belum tercapai, terpaksalah dicari
bantuan atau disebut juga kredit luar negeri, guna dapat membiayai impor.
Perdagangan luar negeri antara Indonesia dengan negara lain misalnya dengan
negara Cina.
Dalam rangka
usaha untuk membiayai proyek-proyek Presiden/Mandataris MPR-S, maka Presiden
Soekarno mengeluarkan Instruksi Presiden No.018
tahun 1964 dan Keputusan Presiden No.360
tahun 1964, yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai penghimpunan dan
penggunaan “dana-dana revolusi”. Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya
diperoleh dari pungutan uang call SPP dan dari pungutan yang dikenakan pada
pemberian izin impor dengan deferred payment. Deferred payment ialah suatu
macam impor yang dibayar dengan kredit (kredit berjangka 1-2 tahun) karena
tidak cukup persediaan devisa. Akibat kebijaksanaan kredit luar negeri ini
adalah:
a)
Hutang-hutang negara semakin bertimbun-timbun, sedangkan
ekspor semakin menurun dan Devisa menipis karena ekspor menurun sekali.
b)
Hutang luar negeri dibayar dengan kredit baru atau
pembayaran itu ditangguhkan.
c)
RI tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan dari luar
negeri, karena itu, sering terjadi beberapa negara menyetop impornya ke
Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar.
d)
Di dalam negeri berakibat mengganggu proses produksi,
distribusi dan perdagangan serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.
Dana revolusi tersebut diberikan dalam bentuk kredit kepada orang lain atau perusahaan dengan rente tertentu agar jumlah dana bertambah terus. Namun, pemberian kredit tersebut menyimpang dari pemberian kredit biasa sampai kira-kira mencapai jumlah Rp 338 milyar (uang lama). Hal ini mengakibatkan inflasi meningkat sangat tinggi karena pemerintah sama sekali tidak mengindahkan jumlah uang yang beredar. Bank Indonesia diizinkan untuk mengadakan penyertaan dalam perusahaan, sehingga membawa akibat yang cukup luas bagi masyarakat, misalnya:
Dana revolusi tersebut diberikan dalam bentuk kredit kepada orang lain atau perusahaan dengan rente tertentu agar jumlah dana bertambah terus. Namun, pemberian kredit tersebut menyimpang dari pemberian kredit biasa sampai kira-kira mencapai jumlah Rp 338 milyar (uang lama). Hal ini mengakibatkan inflasi meningkat sangat tinggi karena pemerintah sama sekali tidak mengindahkan jumlah uang yang beredar. Bank Indonesia diizinkan untuk mengadakan penyertaan dalam perusahaan, sehingga membawa akibat yang cukup luas bagi masyarakat, misalnya:
e)
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral tidak dapat lagi
menjalankan fungsinya sebagai pengantar peredaran uang.
f)
Neraca Bank Indonesia tidak dapat diketahui oleh rakyat
lagi.
g)
Neraca Bank Indonesia yang tidak diumumkan itu
mendorong usaha-usaha spekulasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan. (Poesponegoro,
2008: 429- 436).
2.4 Pembebasan Irian Barat (Jaya)
Ada beberapa
bentuk perjuangan dalam rangka pembebasan Irian Barat, yaitu:
a. Perjuangan Diplomasi
Pada bidang
ini Indonesia mandahulukan cara damai dalam menyelesaikan persengketaan. Perjuangan
tersebut dilakukan dengan perundingan. Jalan diplomasi ini sudah dimulai sejak
kabinet Natsir (1950) yang selanjutnya dijadikan program oleh setiap kabinet.
Meskipun selalu mengalami kegagalan sebab Belanda masih menguasai Irian Barat
bahkan secara sepihak memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan Belanda.
Perjuangan secara diplomasi ditempuh dengan 2 tahap, yaitu
1)
Secara bilateral
Melalui
perundingan dengan belandaBerdasarkan perjanjian KMB masalah Irian Barat akan
diselesaikan melalui perundingan, setahun setelah pengakuan kedaulatan. Pihak
Indonesia menganggap bahwa Belanda akan menyerahkan Irian Barat pada waktu yang
telah ditentukan. Sementara Belanda mengartikan perjanjian KMB tersebut bahwa
Irian Barat hanya akan dibicarakan sebatas perundingan saja, bukan diserahkan.
Berdasarkan alasan tersebut maka Belanda mempunyai alasan untuk tetap menguasai
Indonesia. Akhirnya perundingan dengan Belanda inipun mengalami kegagalan.
2)
Diplomasi dalam forum PBB
Diplomasi dalam
forum PBB ini membawa masalah Indonesia-Belanda ke sidang PBB yang dilakukan
sejak Kabinet Ali Sastroamijoyo I, Burhanuddin Harahap, hingga Ali
Sastroamijoyo II. Dikarenakan penyelesaian secara diplomatik mengalami
kegagalan dan karena adanya pembatalan Uni Indonesia-Belanda secara sepihak
maka Indonesia sejak 1954 melibatkan PBB dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Upaya melalui
forum PBB pun tidak berhasil karena mereka menganggap masalah Irian Barat
merupakan masalah internal antara Indonesia-Belanda. Negara-negara barat masih
tetap mendukung posisi Belanda. Indonesia justru mendapat dukungan dari
negara-negara peserta KAA di Bandung yang mengakui bahwa Irian Barat merupakan
bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia.
b. Perjuangan Konfrontasi Politik, Ekonomi dan
Militer
Perjuangan
diplomasi baik bilateral maupun dalam forum PBB belum menunjukkan hasil
sehingga Indonesia meningkatkan perjuangannya dalam bentuk konfrontasi.
Konfrontasi dilakukan tetapi tetap saja melanjutkan diplomasi dalam
sidang-sidang PBB. Konfrontasi yang ditempuh yaitu konfrontasi politik dan
ekonomi, serta konfrontasi militer.
1. Konfrontasi Ekonomi
Konfrontasi
ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan
kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi
tersebut sebagai berikut:
1)
Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil
KMB, diumumkan pembatalan utang-utang RI kepada Belanda.
2)
Selama tahun 1957 melakukan Pemogokan buruh di
perusahaan-perusahaan Belanda, melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa
Belanda, dan melarang penerbangan kapal-kapal Belanda
3)
Selama tahun 1958-1959 melakukan Nasionalisasi terhadap
± 700 perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia
2.
Konfrontasi
Politik
1)
Tahun 1951, Kabinet Sukiman menyatakan bahwa hubungan
Indonesia dengan Belanda merupakan hubungan bilateral biasa
2)
Tanggal 3 Mei 1956, pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo
II, diumumkan pembatalan semua hasil KMB
3)
Pada tanggal 17 Agustus 1956 dibentuk provinsi Irian
Barat dengan ibukotanya kotanya di Soa Siu (Tidore) dan Zaenal Abidin Syah
(Sultan Tidore) sebagai gubernurnya yang dilantik tanggal 23 September 1956.
Provinsi Irian Barat meliputi : Irian, Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile
4)
Pada tanggal 18 November 1957 terjadi Rapat umum pembebasan
Irian Barat di Jakarta
5)
Tahun 1958, Pemerintah RI menghentikan
kegiatan-kegiatan konsuler Belanda di Indonesia. Pemecatan semua pekerja warga
Belanda di Indonesia
6)
Tanggal 8 Februari 1958, dibentuk Front Nasional
Pembebasan Irian Barat
7)
Tanggal 17 Agustus 1960 diumumkan pemutusan hubungan
diplomatik dengan Belanda
3. Konfrontasi Militer
Dampak dari
tindakan konfrontasi politik dan ekonomi tersebut maka tahun 1961 dalam Sidang
Majelis Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah Irian Barat. Diputuskan
bahwa Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker bersedia menjadi penengah dalam
perselisihan antara Indonesia dan Belanda. Bunker mengajukan usul yang dikenal
dengan Rencana Bunker, yaitu :
1) Pemerintah
Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia
2) Setelah
sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk menentukan
pendapat apakah tetap dalam negara Republik Indonesia atau memisahkan diri
3) Pelaksanaan
penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu dua tahun.
Indonesia
menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek. Tetapi pihak
Belanda tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk
menyerahkan Irian Barat di bawah pengawasan PBB. Selanjutnya PBB membentuk
negara Papua dalam jangka waktu 16 tahun. Jadi Belanda tetap tidak ingin Irian
Barat menjadi bagian dari Indonesia. Keinginan Belanda tersebut tampak jelas
ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara Papua, lengkap dengan
bendera dan lagu kebangsaan. Tindakan Belanda tersebut tidak melemahkan
semangat bangsa Indonesia. Indonesia menganggap bahwa sudah saatnya menempuh
jalan kekuatan fisik (militer).
c.
Operasi-
Operasi Militer Pembebasan Irian Barat
Pada tanggal 17
Agustus 1960 hubungan diplomatic dengan Belanda diputuskan. Untuk lebih
meningkatkan perjuangan, maka Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno
mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta yang telah dirumuskan
oleh Dewan Pertahanan Nasional. Adapun Isi dari Trikora tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Gagalkan
Pembentukan Negara boneka papua buuatan Belanda
2) Kibarkan
Sang merah Putih di Irian Barat, Tanah air Indonesia
3) Bersiaplah
untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air
dan bangsa
Sesuai dengan
perkembangan situasi, Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima Besar
Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala yang
isinya sebagai berikut:
1) Merencanakan,
mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer dengan tujuan mengembalikan
wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan Negara RI.
2) Mengembangkan
situasi di Provinsi Irian Barat sesuai dengan perjuangan di bidang diplomasi
dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat dapat secara
de facto diciptakan daerah-daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/ pemerintah
daerah Republik Indonesia
Untuk
melaksanakan Instruksi itu, Panglima Mandala menyusun strategi yang dikenal dengan
“Strategi Panglima Mandala”, yaitu sebagai berikut:
a. Tahap
Infiltrasi / Penyusupan (sampai akhir 1962)
Tahap jalan
infiltrasi, yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran
tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit
dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan pengusaan wilayah dengan membawa serta
rakyat Irian Barat.
b. Tahap
Eksploitasi (awal 1963)
Mulai Tahap ini
dengan mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki
semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.
c.
Tahap Konsolidasi (awal 1964)
Tahap
konsolidasi yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan
Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat. Pelaksanaannya
Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan operasi
Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah
dari presiden untuk menghentikan tembak-menembak.
Surat perintah
tersebut dikeluarkan setelah ditandatangani persetujuan antara pemerintah RI
dengan kerajaan Belanda mengenai Irian Barat di Markas Besar PBB di New York
pada tanggal 15 Agustus 1962 yang selanjutnya dikenal dengan Perjanjian New
York. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menlu Subandrio sementara
itu Belanda dipimpin oleh Van Royen dan Schuurman. Kesepakatan tersebut berisi:
itu Belanda dipimpin oleh Van Royen dan Schuurman. Kesepakatan tersebut berisi:
1)
Kekuasaan pemerintah di Irian Barat untuk sementara
waktu diserahkan pada UNTEA(United Nations Temporary Executive Authority)
2)
Akan diadakan PERPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian
Barat sebelum tahun 1969
3)
Untuk menjamin Keamanan di Irian Barat dibentuklah
pasukan penjaga perdamaian PBB yang disebut UNSF (United Nations Security
Force) yang dipimpin oleh Brigadir Jendral Said Udin Khan dari Pakistan.
Berdasarkan
Perjanjian New York proses untuk pengembalian Irian Barat ditempuh melalui
beberapa tahap, yaitu :
1.
Antara 1 Oktober -31 Desember 1962 merupakan masa
pemerintahan UNTEA bersama Kerajaan Belanda.
2.
Antara 1 Januari 1963- 1 Mei 1963 merupakan masa
pemerintahan UNTEA bersama RI.
3.
Sejak 1 Mei 1963, wilayah Irian Barat sepenuhnya berada
di bawah kekuasaan RI.
4.
Tahun 1969 akan diadakan act of free choice, yaitu
penentuan pendapat rakyat
Penentuan
Pendapat rakyat (Perpera) berarti rakyat diberi kesempatan untuk memilih tetap
bergabung dengan Republik Indonesia atau Merdeka. Perpera mulai dilaksankan
pada tanggal 14 Juli 1969 di Merauke sampai dengan 4 Agustus 1969 di Jayapura.
Hasil Perpera tersebut adalah mayoritas rakyat Irian Barat menyatakan tetap
berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil Perpera selanjutnya dibawa
oleh Diplomat PBB, Ortis Sanz (yang menyaksikan setiap tahap Perpera) untuk
dilaporkan dalam sidang Majelis Umum PBB ke-24. Tanggal 19 November 1969,
Sidang Umum PBB mengesahkan hasil Perpera tersebut. (http://yhozhie.blogspot.com/2013/05/perjuangan-pembebasan-irian-barat.html)
di akses 24 Mei 2015.
BAB III
PENUTUP
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa dicetuskannya sistem Demokrasi Terpimpin oleh Presiden
Soekarno yaitu dari segi keamanan : banyaknya gerakan sparatis pada masa
Demokrasi Liberal, menyebabkan ketidakstabilan di bidang keamanan. Dari segi
perekonomian : sering terjadinya pergantian kabinet pada masa Demokrasi Liberal
menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan
secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat. Dari segi politik :
konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950, maka
pada tanggal 5 Juli 1959 presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden.
Untuk merencanakan
pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang mengenai
pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah mempersiapkan rancangan
undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana dan menilai penyelenggara
pembangunan itu. Pada massa demokrasi terpimpin Indonesia melakukan kredit luar
negeri dan melakukan kerja sama perdaganan dengan Cina yang memberikan
keuntungan materi dan politik.
Ada beberapa bentuk perjuangan dalam rangka pembebasan Irian Barat, yaitu: perjuangan diplomasi, perjuangan Konfrontasi Politik, Ekonomi dan Militer serta operasi- operasi Militer. Untuk lebih meningkatkan perjuangan, maka Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional. Kemudian Trikora ini diperjelas dengan Instruksi Panglima Mandala yang menyusun strategi yang dikenal dengan “Strategi Panglima Mandala”, yaitu tahap Infiltrasi / Penyusupan (sampai akhir 1962), tahap Eksploitasi (awal 1963), dan tahap Konsolidasi (awal 1964).
Ada beberapa bentuk perjuangan dalam rangka pembebasan Irian Barat, yaitu: perjuangan diplomasi, perjuangan Konfrontasi Politik, Ekonomi dan Militer serta operasi- operasi Militer. Untuk lebih meningkatkan perjuangan, maka Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional. Kemudian Trikora ini diperjelas dengan Instruksi Panglima Mandala yang menyusun strategi yang dikenal dengan “Strategi Panglima Mandala”, yaitu tahap Infiltrasi / Penyusupan (sampai akhir 1962), tahap Eksploitasi (awal 1963), dan tahap Konsolidasi (awal 1964).
DAFTAR PUSTAKA
M.C Ricklefs.2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
Poesponegoro,
Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka
Yhozhie.http://yhozhie.blogspot.com/2013/05/perjuangan-pembebasan-irian-barat.html
di akses 24 Mei 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar