BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hermeneutika
adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra.
Hermeneutik Baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi Protestan
Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu
teologis sekarang. Martin Heidegger tak henti-hentinya mendiskusikan karakter
hermeneutis dari pemikirannya. Filsafat itu sendiri, kata Heidegger, bersifat
(atau harus bersifat) “hermeneutis”.
Sesungguhnya
istilah hermeneutika ini bukanlah sebuah kata baku, baik dalam filsafat maupun
penelitian sastra; dan bahkan dalam bidang teologi penggunaan term ini sering
muncul dalam makna yang sempit yang berbeda dengan penggunaan secara luas dalam
“Hermeneutika Baru” teologis kontemporer
Hermeneutika
selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks. Meski terjadi perubahan dan
modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan
seni memahami teks. Pada kenyataannya, hermeneutika pra-Heidegger (sebelum abad
20) tidak membentuk suatu tantangan pemikiran yang berarti bagi pemikiran
agama, sekalipun telah terjadi evaluasi radikal dalam aliran-aliran filsafat
hermeneutika. Sementara itu, hermeneutika filosofis dan turunannya dalam
teori-teori kritik sastra dan semantik telah merintis jalan bagi tantangan
serius yang membentur metode klasik dan pengetahuan agama.
Metode
hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Yahudi-Kristen.
Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru,
dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan
usaha berkelanjutan dalam menanganinya.
Para filosof
hermeneutika adalah mereka yang sejatinya tidak membatasi petunjuk pada ambang
batas tertentu dari segala fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala sesuatu
yang ada di alam ini sebagai petunjuk atas yang lain. Jika kita mampu
membedakan dua kondisi ini satu dan yang lainnya, maka kita dapat membedakan
dua macam fenomena: ilmu dan pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan epistemologi,
sedangkan masalah pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika. Sehingga dengan
demikian, baik epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang berdampingan.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
asal-usul dan definisi hermeneutika?
2. Bagaimana dua
bentuk hermeneutika?
3. Bagaimana
perkembangan filsafat hermeneutika beserta para tokohnya?
4. Bagaimana kritik
terhadap hermeneutika.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ASAL-USUL
DAN DEFENISI HERMENEUTIKA
Sebelum kita
mendefinisikan filsafat hermeneutika, kita akan mengetahui terlebih dahulu
asal-mula kata hermeneutika. Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Yunani
tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan dalam
bentuk mitologi. Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang
dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes
dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di
langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan. Kata
hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni
menginterpretasikan sebuah teks.
Hermes
diyakini oleh Manichaeisme sebagai Nabi. Dalam mitologi Yunani, Hermes yang
diyakini sebagai anak dewa Zeus dan Maia bertugas menyampaikan dan
menginterpretasikan pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang
dipahami manusia. Hermes mempunyai kaki bersayap dan dikenal dengan Mercurius
dalam bahasa Latin. Menurut Abed al-Jabiri dalam bukunya Takwīn al-‘Aql
al-‘Ârabi, dalam mitologi Mesir kuno, Hermes/Thoth adalah sekretaris Tuhan atau
orisin Tuhan yang telah menulis disiplin kedokteran, sihir, astrologi dan
geometri. Hermes yang dikenal oleh orang Arab sebagai Idris as, disebut Enoch
oleh orang Yahudi. Baik Idris as,
Hermes, Thoth, dan Enoch adalah merupakan orang yang sama.
Sosok Hermes
ini oleh Sayyed Hossein Nasr kerap diasosiasikan sebagai Nabi Idris as. Menurut
legenda yang beredar bahwa pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukang tenun.
Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang peran dewa
Hermes, ternyata terdapat korelasi positif. Kata kerja “memintal” dalam bahasa
latin adalah tegree, sedang produknya disebut textus atau text,
memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika. Bagi Nabi Idris as atau
Dewa Hermes, persoalan yang pertama dihadapi adalah bagaimana menafsirkan pesan
Tuhan yang memakai “bahasa langit” agar bisa dipahami oleh manusia yang
menggunakan bahasa “bumi”. Di sini barangkali terkandung makna metaforis tukang
pintal, yakni memintal atau merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan
agar nantinya pas dan mudah dipahami (dipakai) oleh manusia.
Hermeneutika
(Indonesia), hermeneutics (Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara bahasa
punya makna menafsirkan. Seperti yang dikemukakan Zygmunt Bauman, hermeneutika
berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya “menjelaskan
dan memelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang
tidak jelas, kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan
kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Akar kata
hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein
(menafsirkan) atau kata benda hermēneia (interpretasi). Al-Farabi
mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh (ungkapan). Kata Yunani hermeios mengacu kepada
seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien
dan kata benda hermēneia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes,
dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa
yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap
oleh intelegensia manusia. Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah
karakter dari metode hermeneutika.
Dengan
menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari
“hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk
dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa
merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.
Mediasi dan
proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini
terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia
dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari hermēneuein,
yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan;
(3)menerjemahkan. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk kata kerja
bahasa Inggris, “to interpret.” Tetapi masing-masing ketiga makna itu
membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi.
Sebagai
turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba
menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya
yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam
situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian
pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks.
Dalam Webster’s
Third New International Dictionary dijelaskan definisinya, yaitu “studi
tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya
studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel.” Setidaknya ada
tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan
sastra.
Persoalan
utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif
atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur
hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika.
Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika:
hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis. Pertama,
hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan
kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar.
Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna
yang dikehendaki penggagas teks. Kedua, hermeneutika filosofis. Problem
utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan
obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana
“tindakan memahami” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika kritis.
Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks.
hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai
problem hermeneutiknya.
Dalam
bahasa Yunani “hermeneus” berarti penerjemah. Hermeneutika
adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuien
yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut
lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan
yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus.
B. DUA BENTUK HERMENEUTIKA
Istilah hermeneutika dapat
digunakan dalam dua arti:
1) Menafsirkan
teks-teks dari masa silam
2) Menerangkan
perbuatan seorang pelaku sejarah
Istilah hermeneutika mempunyai dua
arti. Sekalipun istilahnya sama, namun ada perbedaan besar antara kedua arti.
Teks-teks ditafsirkan, perbuatan-perbuatan diterangkan. Menurut arti pertama,
kita melihat suatu kesatuan atau koherensi dalam sebuah teks, sedangkan menurut
arti kedua, kita memberi jawaban terhaap pertanyaan, mengapa seorang pelaku
historis berbuat demikian. Dalam interpretasi teks-teks, kita seolah-olah
mengatasi masa silam serta bahan sejarah, agar mengambil suatu pendirian, dari
mana kita dapat melihat kesatuan dan keterbautan. Dalam kasus kedua, kita
mempergunakan bahan sejarah, agar lebih dalam dapat menyelami masa silam.
Penafsiran
tentang Bahan sejarah Masa silam sendiri
masa silam
1
|
3
|
2
|
Penafsiran teks secara hermeneutis
Penjelasan secara hermeneutis
Penafsiran
teks berpusat pada jalan dari (2) ke (1), sedangkan penjelasan hermeneutis
menempuh jalan dari (2) ke (3). Maka jelaslah, bahwa titik perbandingan bagi
CLM bukan penafsiran teks, melainkan penjelasan hermeneutis. Sama seperti CLM,
maka penjelasan hermeneutis ingin memberi jawaban terhadap suatu pertanyaan,
yakni “mengapa?”. Membandingkan CLM dengan teori hermeneutis mengenai
penafsiran teks, tak ada gunanya.
Pada
umumnya, dapat dikatakan, bahwa di Jerman, hermeneutika interpretatif menjadi
pusat perhatian. Seperti telah kita lihat, itu sudah berlaku bagi
Schleiermacher dan pasti berlaku bagi ahli hermeneutika Jerman terkemuka pada
abad ini, ialah H.G Gadamer. Dalam Karya Dilthey, kita melihat suatu
pembaharuan antara kedua bentuk hermeneutika sekalipun yang dittikberatkan
ialah penafsiran teks. Dalam kalangan filsuf sejarah di Inggris dan Amerika
Serikat, perhatian hampir secara eksklusif diarahkan kepada penjelasan
hermeneutis. Ada satu perkecualian, ialah H. White, bertitik tolak pada gagasan
yang aneh, bahwa masa silam sendiri hendaknya dipandang sebagai suatu teks,
maka dari itu pendekatan dari sudut penafsiran merupakan pendekatan terbaik.
Selain
pada penghayatan dari dalam dan menimba pengalaman hidup sendiri, masih ada dua
ide pokok lain dalam hermeneutika yang menyebabkan pendekatan ini lain dari
CLM. Dalam CLM dicari pola-pola hukum umum: ini ditolak dalam hermeneutika.
Barang siapa masuk ke dalam kulit
seorang pelaku sejatrah, akan bertanya, bagaimana ia sendiri memberi
reaksi-reaksi terhadap keadaan-keadaan tertentu. Dengan lain perkataan,
bagaimana sikap atau reaksiku terhadap keadaan-keadaan ekstern. Ini lebih
bersifat menentukan sebuah fakta daripada menerapkan pola-pola hukum umum. Ini
berarti bahwa seorang hermeneutikus mengadakan suatu pembelahan yang ditolak
oleh seorang penganut CLM. Menurut hermeneutika, terdapat suatu bidang
penelitian ilmiah yang menuntut diterapkannya metode ilmiah eksak dari CLM di
satu pihak dan bidan penelitian yang menuntut pendekatan hermeneutis di lain
pihak, yaitu bidang perbuatan manusia seperti diteliti oleh seorang ahli
sejarah.
Perbedaaan
kedua anatara hermeneutika dan CLM ialah kedudukan si ahli sejarah, selaku
subyek yang mengetahui dalam hermeneutika. Dalam CLM, subyek hampir tidak
memainkan peranan. Dalam ilmu-ilmu eksakta, pribadi peneliti bahkan diabaikan.
C. PERKEMBANGAN
FILSAFAT HERMENEUTIKA BESERTA PARA TOKOHNYA
1.
Hermeneutika
Di Jerman
a.
F.D.E
Schleirmacher
Schleirmacher adalah seorang teolog,
ahli filologi dan budaya yang merupakan guru besar teologi dan filsafat Universitas
Halle di Jerman. Ia dianggap sebagai bapak hermeneutika modern sebab membakukan hermeneutika menjadi metode
umum interpretasi yang tidak terbatas
pada kitab suci dan sastra. Pemikiran dalam karya-karyanya merupakan perluasan
dari kuliah-kuliah kepada mahasiswa sejak tahun 1805. Sumber pemikiran
Schleirmacher berasal dari epistimologi Kant, idealisme Schelling, Fichte dan
Hegel serta empirisme Inggris. Dari epistimologi Kant dia mengambil uraian
tentang peran akal atau nalar murni dalam memperoleh pengetahuan yang benar.
Idealisme Schelling yang diambil adalah pendangan tentang identitas pribadi
yang mempengaruhi corak sebuah karya khususnya karya sastra, sehingga ia
dipandang sebagai filosof romantik. Akan tetapi, pemikiran Kant yang menempati
porsi utama dalam hermeneutika.
Schleirmacher memandang hermeneutika adalah sebuah
teori tentang penjabaran dan interpretasi teks-teks mengenai konsep-konsep
tradisional kitab suci dan dogma. Tugas hermeneutika adalah memahami teks-teks
“sebaik atau lebih baik dari pengarangnya” dan “memahami pengarang teks lebih
baik daripada memahami dirinya sendiri”. oleh karena itu, Schleirmacher membagi
pemahaman terhadap hermeneutika kedalam tiga tahap, yaitu:
a)
Tahap interpretasi dan pemahaman mekanis yaitu
pemahaman dan interpretasi kita dalam kehidupan sehari-hari di jalan-jalan
bahkan di pasar atau dimana saja orang berkumpul bersama untuk berbincang
tentang topik umum.
b)
Tahap ilmiah yang dilakukan di universitas-universitas
dan diharapkan adanya pemahaman serta interpretasi yang lebih tinggi. Tahap ini
pada dasarnya adalah pemahaman dan observasi.
c)
Tahap ketiga adalah tahap seni yaitu aturan yang
mengikat atau membatasi imajinasi
Pada tahap
pertama dan kedua menurut Schleirmacher tidak membawa pada pemahaman yang
semestinya. Karena pada kenyataannya teks yang dihadapi tidak cocok untuk
taraf-taraf interpretasi dan bahkan sering bertentangan. Schleirmacher lebih
cocok pada tahap ketiga karena penekanannya pada seni. Karena bagi
Schleirmacher “sebagai suatu seni maka tidak ada hermeneutika yang sudah
dikhususkan penggunaannya”. Pemahaman yang selalu dipasangkan dengan
interpretasi tidak lain adalah seni, dalam arti bahwa seseorang tidak dapat
meramalkan waktu dan cara seseorang mengerti.
Pemahaman
Schleirmacher dalam arti seni ditunjang oleh pemahamannya terhadap bahasa.
Bahasa hadir sebagai bagian penting dari keseluruhan sistem hermeneutikanya.
Menurutnya semakin lengkap pemahaman seseorang atas sesuatu bahasa dan
psikologi pengarang, akan semakin lengkap pula interpretasinya. Kompetensi
linguistik dan kemampuan mengetahui seseorang akan menentukan keberhasilannya
dalam hal seni interpretasi. Schleirmacher disini memandang bahasa sebagai sesuatu
yang identik dengan pikiran. Dari ekspresi bahasa, ciri-ciri pemikiran
masyarakat dapat ditentukan.
Schleirmacher menciptakan dua bentuk hermeneutika
yaitu pemahaman ketatabahasaan dan pemahaman psikologis yang ditunjukan oleh
jiwa pengarang. sehingga hermeneutikanya sering disebut sebagai hermeneutica intelligendi karena
penalaran rasional dan intuisi merupakan dua bentuk kecerdasan tertinggi yang
dimiliki manusia. Meskipun individualitas pengarang merupakan tumpuan utama
dalam hermeneutikanya, tetapi konteks kesejarahan dan budaya pengarang menjadi
pertimbangan yang penting.
Sebuah tafsir membutuhkan intuisi tentang teks yang
sedang dipelajari. Sebuah teks yang sedang dipalajari tidak asing bagi kita,
juga tidak sepenuhnya biasa bagi kita. Keasingan dalam suatu teks dapat diatasi
dengan mencoba memahami si pengarangnya dengan cara membuat konstruksi
imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin pengarangnya serta berimpati
kepadanya. Dengan kata lain, kita harus membaut penafsiran psikologis atas teks
sehingga dapat memproduksi pengalaman pengarang. Pandangan Schleirmacher kemudian
menuai kritikan karena terlalu psikologis dan mengalami kesulitan karena
berusaha untuk mengatasi kesenjangan waktu yang memisahkan antara cakrawala
budaya dengan cakrawala budaya pengarang
Prosedur pemahaman dalam hermeneutika yang diajukan
oleh Schleirmacher agak sederhana. Pemahaman dan penafsiran harus diawali
dengan perumusan prinsip-prinsip pemahaman terlebih dahulu. Kemudian membangun
hermeneutika yang umum. Seorang pembaca yang ingin memhami sebuah teks harus
keluar dari pendiriannya atau teori yang diyakininya agar terbuka terhadap
pendirian pengarang yang mungkin berbeda dengan pendiriannya dalam berbagai
persoalan.
b.
Wilhelm
Ditlhey
Dithey
merupakan salah satu penganggum dari filsafat Schleirmacher yang menggabungkan
teologi dan kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan. Ini merupakan titik
awal Dithey menjadi seorang filsuf. Dithey menaruh perhatian pada filsafat
kehidupan. Karena filsafat bagi Dithey bersifat esensial historis.
Peristiwa-peristiwa sejarah telah menunjukan jiwa manusia yang berubah dalam
alur waktu dengan cara yang tidak kelihatan. Karena manusia adalah makhluk yang
hidup dan berevolusi
Ditley
menaruh perhatian pada metode hermeneutika ketika mencoba untuk memecahkan
persoalan tentang bagaimana segala pengetahuan tentang individu atau
pengetahuan tentang singularitas eksistensi manusia menjadi ilmiah. Oleh itulah
perlu pemahaman diri yang mutlak. Pengalaman tentang geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang hidup
tergantung pada pengalaman-pengalaman batin yang tidak terjangkau oleh metode
ilmiah (Hamidi, 2007:62). Atas dasar itulah Dithey menyarankan untuk
menggunakan hermeneutika.
Menurut dia
hermeneutika adalah dasar pemahaman yang khusus mengenai geisteswissenschaften. Berkenaan dengan keterlibatan individu dalam
kehidupan bermasyarakat yang hendak dipahami, ia merasa perlu memiliki tipe
pemahaman yang khusus (penafsiran reproduktif). Meskipun orang dapat menyadari
keadaan dirinya melalui ekspresi orang lain, namun orang masih dirasa perlu
untuk membuat interpretasi atas ekspresi tersebut. Hermeneutika dapat bekerja
jika ekspresi sudah dikenal atau tidak asing. Oleh karena itu hermeneutika bagi
Dithey bersifat kesejarahan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi harus dipahami
sebagai suatu ekspresi kehidupan sejarah, sehingga yang diproduksi bukankah
pengarangnya tetapi makna peristiwa sejarahnya Ini berarti bahwa makna itu
tidak berhenti pada satu masa saja tetapi selalu berubah menurut modifikasi
sejarahnya.
Bagi filosof
yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah “tehnik
memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh
karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan
ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut
intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk
kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher.
Pada bagian
awal pemikirannya, Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah
transformasi psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin
historis, usaha-usahanya ia hentikan. Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa
setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam
pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab ia tidak
mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang.
Selain itu Dilthey juga mencoba mengangkat hermeneutika menjadi suatu disiplin
ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dan
mengembangkannya menjadi metode-metode dan aturan-aturan yang menentukan
obyektifitas dan validitas setiap ilmu. Bagi Dilthey hermeneutika universal
memerlukan prinsip-prinsip epistemologi yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu
sosial.
Menurutnya,
dalam tindakan pemahaman historis, yang harus berperan adalah pengetahuan
pribadi mengenai apa yang dimaksudkan manusia. Jika Kant menulis Crituque of
Pure Reason, ia mencurahkan pemikiran untuk gagasan Crtique of
Historical Reason.
Wilhelm
Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi dua disiplin: ilmu alam
dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan alam sebagai obyek
penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh karena obyek dari ilmu alam berada di
luar subyek, ia diposisikan sebagai sesuatu yang datang kepada subyek,
sebaliknya karena obyek ilmu sosial-humaniora berada di dalam subyek itu
sendiri, keduanya seolah tak terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu ini
menurut Dilthey bukan obyeknya semata, tapi juga orientasi dari subyek
pengetahuan, yakni “sikapnya” terhadap obyek.
Dengan
demikian, perbedaan kedua disiplin ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan
ontologis. Secara epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam
menggunakan penjelasan (Erklaren), yakni menjelaskan hukum alam menurut
penyebabnya dengan menggunakan teori. Sebab, pengalaman dengan teori terpisah.
Sedang disiplin ilmu sosial-humaniora mengunakan pemahaman (Verstehen),
dengan tujuan untuk menemukan makna obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi
pencampuran antara pengalaman dan pemahaman teoritis. Dilthey menganggap makna
obyektif yang perlu dipahami dari ilmu humaniora adalah makna teks dalam
konteks kesejarahaannya. Sehingga, hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk
memahami teks sebagai ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena
itu, yang perlu direkonstruksi dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari
peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks.
Dilthey
menjadihan hermeneutika sebagai komponen utama bagi fondasi ilmu humaniora (Geistesswissenchaften).
Ambisi ini menyebabkan Dilthey telah meluaskan penggunaan hermeneutika ke dalam
segala disiplin ilmu humaniora. Jadi, dalam pandangan Dilthey, teori
hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa.
c. Hans-Georg Gadamer
Gadamer merupakan murid dari Martin Heidegger yaitu
filsuf besar hermeneutika modern pada abad ke-20. Gadamer meneruskan pemikiran
Heidegger yang terkenal dengan lingkaran
hermeneutis. Dalam gagasan Heidegger, hermeneutika merupakan bagian dari
eksistensi manusia sendiri, built in
dalam diri manusia. Dalam memahami dunia dan sejarahnya, manusia merupakan
cakrawala bagi pemahaman dirinya. Suatu objek menampakkan dirinya hanya dalam
suatu keseluruhan makna, dan setiap pengertian tentang objek baru terjadi
karena adanya pemahaman yang dahuluinya sebagai the conditions of possibility (syarat-syarat kemungkinan)
Gagasan tentang lingkaran
hermeneutis dikembangkan oleh Gadamer hingga menjadi sebuah teori filosofis
mengenai pemahaman sehingga menjadi hermeneutika filosofis. Gadamer melontarkan
kritiknya terhadap hermeneutika romantik yang dirintis oleh Schleiermacher dan
Dilthey. Baginya, kesenjangan waktu antara kita dan pengarangnya tidak harus
diatasi seolah-olah sebagai suatu yang negatif, tetapi justru harus dipikirkan
sebagai perjumpaan cakrawal-cakrawala pemahaman. Cakrawala pemahaman dapat
diperkaya dengan membandingkannya dengan cakrawala-cakrawala pengarang. oleh
karena itu, penafsiran tidak bersifat reproduktif belaka tetapi juga produktif.
Artinya bahwa makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya melainkan makna baru
bagi kita yang hidup di zaman ini, maka menafsirkan adalah proses
kreatif-inovatif.
Gadamer memandang bahwa hermeneutika adalah seni bukan
proses mekanis. Jika pemahaman adalah jiwa dari hermeneutika, maka pemahaman tidak
dapat dijadikan pelengkap proses mekanis. Pemahaman dan hermeneutika hanya
dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni. Pemikirannya mengenai
hermeneutika, salah satunya adalah konsep mengenai manusia yaitu, bildung atau kebudayaan, Sensus Communis atau pertimbangan
praktis yangbaik, Sense Communis dan
selera.
Gadamer
menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia tidak menganggap
hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah
pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya
kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana
lebih banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis.
Gadamer melontarkan konsep “pengalaman” historis dan dialektis, di mana pengetahuan
bukan merupakan bias persepsi semata tetapi merupakan kejadian, peristiwa,
perjumpaan. Gadamer menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas
individu tetapi dari wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang
mengkondisikan pengalaman individu. Gadamer mempertahankan dimensi sejarah
hidup pembaca.
Filsafat
hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis,
dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala
bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan
logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti
difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan
pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu
karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup
kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita
sendiri. Proses dialektika memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan
yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan yang menjadi sebab karya itu
ada.
Dia
umpamakan pemahaman manusia sebagai interpretasi-teks. Dalam proses memahami
teks selalu didahului oleh pra-pemahaman sang pembaca dan kepentingannya untuk
berpatisipasi dalam makna teks. Kita mendekati teks selalu dengan seperangkat
pertanyaan atau dengan potensi kandungan makna dalam teks. Melalui horizon
ekspektasi inilah kita memasuki proses pemahaman yang terkondisikan oleh
realitas sejarah. Hermeneutika dalam pengertian Gadamer adalah interpretasi
teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter. Inilah yang ia sebut
dengan effective historical consciousness yang struktur utamanya adalah
bahasa.
Menurut
Gadamer, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang dimiliki manusia,
namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa pra-duga adalah tidak
terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic circle, jika kita berusaha
keluar dari lingkaran tersebut. Menurut Gadamer, ketika kita berusaha memahami
sebuah teks kita akan berhadapan dengan koherensi relatif dari ruang lingkup
makna. Jadi, sebenarnya ada dua metode yang perlu dihindari ketika memahami
sesuatu. Pertama, sikap reduktif ketika dengan seenaknya memasukkan
konsep kita sendiri dengan berlebih-lebihan ke dalam ruang lingkup budaya,
sehingga menafikan kekhususan maknanya; kedua, sikap self-effacement
ketika kita menafikan kepentingan kita sendiri dengan berusaha masuk ke dalam
kacamata orang lain. Kedua metode tersebut tidak menyelesaikan persoalan ilmu
yang objektif karena masih terjerat dengan dikotomisasi antara subjek atau
objek, padahal kondisi primordial kita melampaui hubungan antara subjek dan
objek.
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan
bertolak pada empat kunci heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap
“situasi hermeneutik”. Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi
kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks. Kedua, situasi
hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang
tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Kendati ini
merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu
merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah
itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon
teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang
mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan
membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti
mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua
horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”. Keempat,
langkah selanjutnya adalah menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan
makna obyektif teks. Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari
tradisi dimana dia hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa
menghilangkan tradisinya begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks.
2.
Hermeneutika
Di Inggris Dan Amerika
R.G Collingwood (1889-1943),
seorang ahli arkeologi dan filsuf sejarah berkebangsaan Inggris dipandang
sebagai juru bicara pendirian hermeneutis yang klasik. Collingwood membantah
skeptisisme, sejauh skeptisisme itu berdasarkan pandangan, bahwa kita tidak
dapat memperoleh pengetahuan mengenai masa silam yang dapat diandalkan, karena
kita tidak lagi dapat mengalami masa silam itu. Jaaban Collingwood ialah bahwa
masa silam dapat diulangi kembali dalam batin kita sehingga pengetahuan
berdasarkan pengalaman mengenai masa silam tidak mustahil.
Teori Collingwood mengenai re-enactment bukan pertamatama suatu
jawaban terhadap pertanyaan mengenai keterangan atau penjelasan historis,
melainkan bagaimana kita dapat memeperoleh pengetahuan yang dapat diandalkan
mengenai masa silam.
Hermeneutika yang dikembangkan
Collingwood, jelas dan sederhana. Ia berpendapat, bahwa semua sejarah merupakan
sejarah alam pikiran. Collingwood menggarisbawahi, bahwa ”re-enactment” itu bukanlah hasil intuisi penelitian sejarah yang
tak dapat dikontrol. Si peneliti sejarah tidak “menghapus” dirinya sendiri,
lalu menjelma kembali dalam batin seorang tokoh sejarah. “Re-enactment” mrupakan suatu proses yang payah dan panjang;
sipeneliti sejarah maju langkah demi langkah, berdasarkan pengetahuannya
mengenai masa silam dan keadaan yang meliputi tokoh sejarah yang bersangkutan,
lalu dalam batinnya sendiri mengulangi pikiran si tokoh sejarah. Tetapi,
peneliti sejarah selalu sadar, bahwa “re-enactment”
itu terjadi dalam batinnya sendiri—tertampung dalam alam pikirannya
sendiri-sehingga tidak terjadi identifikasi total antara peneliti sejarah dan
tokoh sejarah. Tentu saja, peneliti sejarah hendak selalu penuh imajinasi, ia
harus pandai mengadakan ekstrapolasi dan intrapolasi menurut pengalamannya
sendiri, tetapi “re-enactment” itu
merupakan suatu proses yang dapat diikuti setapak demi setapak oleh kritik
sejarah dan juga dapat nilainya.
D. KRITIK TERHADAP HERMENEUTIKA
a)
Adakah
Hermeneutika itu berawal pada Descartes?
Descartes, seorang filsuf
Prancis (1596-1650), berpendapat bahwa
manusia terdiri atas dua unsur yang berbeda-beda, yaitu jiwa dan tubuh, atau
seperti diungkapnya sendiri, roh dan keterbentangan (seperti semua objek material,
maka tubuh kita terbentang dalam ruang dan waktu). Rupanya para hermeneutisi ,
seperti Collingwood dan Dray , mendukung ddhikotomi manusia seperti itu.
Collingwood membedakan antara “segi-dalam” mental dan “segi-luar”, pada
perbuatan kita yang dapat diamati dalam ruang dan waktu.
Adapun para filsuf dewasa ini tidak
begitu simpati terhadap dikhotomi ala Descartes itu. Gilbert Ryle, yang
berjudul The Concept of Mind (1948), bahwa “segi-dalam” dan “segi-luar” dalam
perbuatan kita, tidak dapat dipisahkan bagaikan dua kotak seperti disangka
Descartes. Berpikir (“segi-dalam”) tidak terletak di belakang atau di luar
perbuatan klebih kita (“segi-luar”), tetapi lebih memperlihatkan diri dalam
perbuatan kita.
Kita sering berbicara tentang
“perbuatan bodoh” atau “perbuatan cerdas”, dan itu mustahil andai kata pikiran
dan perbuatan merupakan dua kategori yang berbeda sama sekali seperti dikatakan
Descrates. Teori (berpikir) dan praktek (berbuat) tidak dapat dipisahkan seperti dua kotak,
tetapi selalu berjalan berbarengan, sekalipun kita berpikir dulu sebelum
berbuat.
Tetapi sekalipun ungkapan-ungkapan
seperti dipergunakan oleh para para hermeneutisi memberi kesan, seolah-olah
mereka mengikuti dikhotomi ala Descartes, namun dalam praktek mereka tak pernah
tergelicir dalam konsep-konsep Descartes mengenai hubungan antara jiwa dan
tubuh. Cara hermeneutikus menghayati dari dalam batin seseorang, bukanlah
seolah-olah ia memasuki sebuah bilik terkunci dalam diri seseorang pelaku
sejarah (demikian pandangan Descartes). Andaikata “segi-luar” yang secara obyektif
dapat diamati dan “segi-dalam” mental dalam perbuatan kita, memang terpisah
total, maka mustahillah memasuki “bilik terkunci” dalam diri seorang pelaku
sejarah. Antara tubuh dan jiawa tiada sebuah jembatan yang dapat kita lewati,
agar dari “segi-luar” memasuki
“segi-dalam”. Dengan asumsi ala Descartes, hermeneutika lalu bunuh diri.
Maka dari itu, tidak ada seorangpun
hermeneutikus yang tergoda untuk menerima atau membela pembedaaanDescartes
anatara jiwa dan badan. Batin yang ingin dimasuki seorang hermeneutikus,
bukanlah kesadaran paling pribadi dalam diri seorang pelaku sejarah, melaikan
kehidupan, atau lebih tepat, kebertautan dalam hidup seorang pelaku sejarah.
Seorang hermeneutikus memahami sebuah perbuatan seorang pelaku sejarah atau
suatu peristiwa dalam hidupnya, dalam keseluruhan hidup orang itu, bukannya
sebagai suatu keadaan dalam kesadaran pribadi pelaku sejarah itu.
Ternyata hermeneutika sering jelas
sama sekali tidak setuju dengan pandangan Descartes. Jadi, hermeneutika tidak
tergelincir dalam dikhotomi Descartes, bahkan dengan tegas menolaknya.
b)
Adakah
Hermeneutika mengandaikan CLM?
Penjelasan hermeneutika berbentuk
demikian:
(1) Dalam
keadaan historis k, seorang pelaku
sejarah mengembangkan pikiran atau motivasi p;
(2) Perbuatan
b serasi dengan pikiran atau motivasi
p
Para penganut CLM, saya (seorang
peneliti sejarah) dapat mengaitkan suatu keadaan tertentu dengan suatu pikiran
dan perbuatan tertentu, berdasarkan pengalaman hidupku sendiri, tetapi dengan
demikian belum terbukti sesuatupun. Baru, bila saya tahu, bahwa bukan hanya
saya sendiri, tetapi juga O1,
O2, O3 dan seterusnya, dengan cara yang sama
mengaitkan keadaan, pikiran, dan perbuatan tertentu, maka mengaitkan keadaa,
pikiran,, dan perbuatan tertentu, maka boleh disimpulkan bahwa proses serupa
itu mungkin juga terjadi dalam diri pelaku sejarah.
Dengan lain perkataan, kita
memerlukan suatu pola hukum umum,bagaimana
pada umumnya orang-orang mengaitkan keadaan tertentu dengan pikiran dan
perbuatan tertentu. Dan ini berarti,
bahwa modul penjelasan hermeneuitis ternyata didasarkan, sekalipun implisit,
pada suatu pola hukum umum, biarpun ini disangkal oleh para hermeneutisi. Maka
dari itu, rupanya hermeneutika merupakan suatu varian terhadap CLM. Ini tidak
berarti, bahwa para penganut CLM berpendapat, bahwa hermeneutika tak ada
gunanya atau tidak masuk akal. Menghayati batin seseorang pelaku sejarah,
kadang-kadang dapat menimbulkan gagasan, mengapa si pelaku melakukan sesuatu.
Tetapi, dugaan-dugaan serupa itu baru menjadi penjelasan yang dapat diterima,
bila dites pada pola-pola hukum umum yang relevan. Nilai hermeneutika terbatas
pada heuristik, artinya hanya merupakan sarana agar kita dapat sampai pada
suatu dugaan mengenai kenyataan.
Jelaslah bahwa keberatan yan
diajukan terhadap hermeneutika dari sudut CLM juga dapat diajukan terhadap action rationale explanation ala Dray.
Cukup menarik juga memperhatikan, bagaimana Dray telah berusaha menangkis
keberatan-keberatan itu. Ia mengusulkan agar membedakan:
(1) Usaha
membenarkan perbuatan-perbuatan kita (dengan menyebut alasan-alasan kita)
(2) Melacak
alasan yang sebenarnya yang melatarbelakangi perbuatan kita.
Dalam
kasus pertama, kita berurusan dengan suatu legitimasi dan usaha itu selalu
berupa, menyebut alasan-alasan yang pada umumnya mendorong kita, untuk berbuat
seperti kita perbuat. Di sini pendekatan ala CLM memang perlu. Dalam kasus
kedua, kita menyusun kembali gagasan-gagasan kita dengan membayangkan kembali
suatu situasi yang pada suatu saat tertentu meliputi kita. Disini kita tidak
mengacu kepada pola-pola hukum umum, kita hanya kembali ingat kembali akan
sesuatu. Maka dari itu, kata Dray, action
rationale explanation hendaknya dikaitkan dengan proses kedua, bukan dengan
proses pertama.
Pembelaan
Dray tidak meyakinkan para penganut CLM. Mereka setuju, bahwa bila kita ingat
akan alasan bagi suatu perbuatan, maka pada dasarnya kita memang hanya
menentukan suatu peristiwa dari masa silam dan tidak menerapkan pola-pola hukum
umum.
c)
Jangkauan
Hermeneutika yang terbatas
Keberatan utama yang dapat diajukan
terhadap penjelasan hermeneutis ialah jangkauannya yang sangat terbatas. Baik
penjelasan hermeneutis, maupun penjelasan teloelogis, meperlihatkan dua
kekurangan. Adapun pretensi penjelasan hermeneuitis ialah memberi pengertian mengenai
cara para peneliti sejarah melacak arti seala gagasan dan perbuatan yang
sama-sama mewujudkan kenyataan sosio-historis.
Keberatan utama terhadap modul
penjelasan hermeneutis hubungan antara “segi-dalam” dan “segi-luar” dalam
perbuatan manusia, maka hermeneutika kurang memperhatikan interaksi dalam
perbuatan-perbuatan anatara manusia, atau seperti dikatakan Hegel, akibat yang
tidak disengaja dalam perbuatan manusia yang terarah kepada suatu tujuan.
Seorang peaku sejarah tak pernah
dapat dilukiskan dengan mempergunakan konsep-konsep serupa itu dan tak pernah
dapat dijadikan titik pertemuan lagi “verstehen”,
penghayatan atau “re-enactment”,
bila masa silam ingin kita analisis dengan konsep-konsep itu. Pada
bidang-bidang yang penting sekali bagi penelitian sejarah, hermeneutika
terpaksa angkat tangan, tidak berdaya. Bahkan, penelitian mengenai alam pikiran
dan perasaan manusia dari masa silam-yang rupanya merupakan obyek yang paling
cocok bagi suatu analisis hermeneutis-sebetulnya sudah di luar jangkauan
hermeneutika.
d)
Hermeneutika
kurang memiliki kesadaran historis
Akhirnya hermeneutika sama dengan
CLM dapat dipersalahkan, karena kurang memiliki kesadaran historis. Penghayatan
mengandaikan, bahwa cara seorang peneliti sejarah menanggapi keadaaan dalam
lingkungannya, pada pokoknya sama dengan cara seorang pelaku sejarah bereaksi
terhadap lingkungannya. Baru, bila pelaku sejarah mengaitkan keadaan pikiran,
dan perbuatan sama seperti seorang peneliti sejarah maka pendekatan hermeneutis
membuka jalan untuk menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah. Tetapi,
hendaknya kita ingat, bahwa seorang peneliti sejarah justru meneliti masa
silam. Ini berarti, bahwa seorang peneliti sejarah, pada prinsipnya tidak
menaruh minat terhadap pikiran dan perbuatan seorang pelaku sejarah, sejauh
pikiran dan perbuatan itu tidak berbeda dengan pikiran dan perbuatannya
sendiri. Justru perbuatan itulah yang diminati oleh hermeneutika
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hermeneutika
terutama berurusan dengan teks-teks. Manakala kita sedang membaca sebuah teks
dari seorang pengarang yang kita kenal baik yang hidup sezaman dengan kita,
tidak tidak akan menghadapi kesulitan memahami kalimat-kalimat dan
kata-kata maupun istilah-istilah khusus yang termuat di dalam teks tersebut. Di
sini kita berusaha keras untuk menangkap makna sebagaimana yang dimaksudkan
oleh pengarangnya. Kita menghadapi problematik autentisitas makna teks. Dan di
sinilah kita berhadapan dengan “problematik hermeneutik”: bagaimana menafsirkan
teks itu. Problematik ini dihadapi dalam berbagai bidang sejauh menyangkut
penafsiran, misalnya bidang kesusasteraan, tradisi-tradisi religius
(kitab-kitab suci, doktrin-doktrin, hukum-hukum), bidang hukum, ilmu sejarah
(prasasti, dokumen-dokumen kuno), musikologi, politikologi, dan sebagainya.
Oleh karena itu, memahami apa itu hermeneutika teks akan sangat bermanfaat
untuk menambah wawasan atau cara pandang kita terhadap produk-produk budaya
masa lalu atau tradisi beserta ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya
DAFTAR PUSTAKA
Agus,
Darmaji. Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman
Hermeneutik. Jakarta : Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
F.R
Ankersmit. 1987. Refleksi Tentang
Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia
KM.
Newton. Menafsirkan Teks. New York
Tidak ada komentar:
Posting Komentar